Catatan PerempuanWartawan di TengahKonflik Timtim

19 Juni 2009

Judul: Timor Timur, Satu Menit
Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman
Peristiwa lepasnya Timor Timur
(Timtim) dari Indonesia diwarnai
berbagai konflik, baik secara politik
maupun sosial. Bahkan konflik
tersebut berujung pada
pertumpahan darah. Hal yang
mengusik keingintahuan adalah,
bagaimana seorang juru warta
harus bersikap di tengah konflik
tersebut.
Itulah yang dicoba disampaikan
buku ini. Penulisnya, CM Rien
Kuntari, tidak hanya mengisahkan
berbagai peristiwa yang terjadi di
Timtim baik menjelang maupun
sesudah jajak pendapat, tetapi juga
bagaimana ia sebagai seorang
wartawan harus bertindak dan
bersikap di tengah pihak-pihak yang
sedang bertikai.
Dalam buku ini, Rien menyampaikan
banyak pengalamannya selama
melakukan tugas jurnalistiknya yang
mungkin tidak pernah ia tulis dalam
pemberita. Salah satu alasannya
adalah untuk meredam konflik
ataupun gesekan sosial yang
semakin melebar. Sebab, seperti
dikisahkan Rien, tulisan dalam media
dapat mengubah sikap kelompok-
kelompok tertentu di Timtim dalam
sekejap. Kemarahan kelompok pro-
integrasi dan pro-kemerdekaan
dapat terpicu setelah mengetahui
tulisan yang dimuat di dalam media.
Bahkan tidak jarang tulisan tersebut
dapat memunculkan tuduhan dan
"cap" tertentu pada sebuah media,
misalnya media yang mendukung
integrasi, atau media yang justru
mendukung kemerdekaan Timtim.
Bahkan, karena hal itu, acap kali
wartawan dari media yang
bersangkutan menjadi sasaran
kemarahan kelompok-kelompok
yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target
kemarahan pasukan milisi.
Kelanjutannya, muncul skenario
untuk menculik dan "menghabisi"
wartawan Kompas (penulis adalah
wartawan harian Kompas) tersebut.
Menurut informasi yang ia dapat,
rencana tersebut dikeluarkan dalam
rapat tertutup antara pihak pro-
otonomi yang melibatkan pasukan
Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan
Demokrasi dan Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien
merupakan wartawan yang telah
melakukan dosa yang tidak
terampuni, yakni memberikan berita
yang seimbang dalam pemberitaan
untuk pihak pro-kemerdekaan.
Bahkan kepiawaian Rien dalam
menjalin hubungan pihak-pihak pro-
kemerdekaan telah memunculkan
tuduhan dirinya bukan seorang
nasionalis. Hal ini menguat ketika
Kompas menurunkan laporan
tentang Falintil dan wawancara
khusus dengan Taur Matan Ruak
dalam tiga halaman penuh pada
HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien sendiri hanya
melakukan profesinya sebagai
wartawan secara profesional, yakni
tidak memihak pada salah satu kubu
yang sedang berseberangan secara
kepentingan. Namun di lapangan,
seperti di wilayah konflik, kenetralan
ini dapat diartikan lain. Dengan
begitu, seorang wartawan memang
dituntut lebih peka lagi dalam
melakukan kegiatannya di wilayah
tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap
wartawan memang hal yang biasa
terjadi di Timtim pada masa sekitar
jajak pendapat. Salah satu korban
yang dicatat oleh Rien adalah
wartawan Financial Times biro
Jakarta, Robert Thoenes. Menurut
Rien, wartawan itu tewas terbunuh
dengan sayatan di seluruh bibir dan
sebagian wajahnya.
Hal lain yang menarik dari buku ini
adalah keterusterangan Rien dalam
mengungkapkan fakta yang
ditemuinya di Timtim, misalnya saja
ia mengisahkan bagaimana
kekejaman kaum milisi menghabisi
rombongan misonaris yang hendak
pergi ke Los Palos dari Baucau.
Peristiwa ini terjadi sekitar bulan
September 1999. Pada saat itu,
sembilan orang tewas dengan
menyedihkan, di antara para
misionaris terdapat seorang sopir,
dua orang pemudi, dan satu orang
wartawan.
Rien sendiri mengakui, ketika dirinya
menjadi target pembunuhan kaum
milisi, ia mengalami ketakutan yang
luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia
juga merasakan kengerian ketika
warga Timtim yang sebelumnya
tampak ramah, tiba-tiba berbalik
menjadi tidak bersahabat dan
bahkan menampakkan sikap
permusuhan. Bahkan sebelumnya ia
juga sempat dihadang moncong
pistol yang dihadapkan ke arah
kepalanya dari jarak dekat.
Namun, nalurinya sebagai
wartawan tidak menyurutkan ia
untuk kembali ke Timtim. Ia seperti
merasa "gatal" jika hanya
memantau perkembangan situasi di
Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus
langsung berada di Timtim untuk
melihat apa saja yang sebenarnya
terjadi di wilayah itu, ketimbang
mengutip dari berbagai media asing
dengan berbagai versi.
Itu sebabnya, ketika INTERFET
(International Force for East Timor)
yang dikomandani Australia
memintanya untuk kembali ke
Timtim pada pertengahan Oktober
1999, ia langsung menyambutnya.
Apalagi hal ini didukung oleh atasan
Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan,
bahwa pada akhirnya INTERFET
membutuhkan media juga untuk
mengimbangi pemberitaan negatif
mengenai Australia. Padahal
sebelumnya wartawan Indonesia
betul-betul mengalami perlakuan
diskriminasi dari pasukan tersebut.
Memang, persoalan Timtim tidak
lepas dari persoalan hubungan
antara Australia dan Indonesia. Sejak
pasukan INTERFET tiba di Indonesia,
hubungan kedua negara ini selalu
memanas. Hal ini tidak lepas dari
sikap Australia yang arogan
terhadap Indonesia. Hal ini bahkan
menyulut protes dari Indonesia.
Salah satu kasus yang memicu
ketegangan antara Indonesia dan
Australia adalah operasi rahasia
yang dilakukan oleh Australia di
wilayah Timtim. Meskipun hal ini
diprotes oleh pihak TNI, namun
pihak Australia tetap tidak ambil
pusing. Pada perkembangan
berikutnya, aksi Australia ini
mengundang kemarahan sejumlah
negara, termasuk Amerika.
Kemarahan Amerika tersebut dipicu
oleh keengganan Australia untuk
membagi hasil dari operasi rahasia
tersebut.
Hal lain yang menarik dalam buku
ini adalah bagaimana sebagai
seorang wartawan Rien memiliki
tanggung jawab yang tidak sekadar
menuliskan berita secara netral tetapi
berpikir dengan spektrum ataupun
kepentingan yang luas. Misalnya
saja ketika ia menghadiri homili
Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB
pada misa penutupan bulan
Oktober, atau bulan devosi kepada
Bunda Maria.
Dalam khotbahnya ketika itu, uskup
justru menjelek-jelekkan Indonesia.
Bahkan secara terang-terangan ia
menyerang kaum milisi dengan
menyatakan kaum milisi harus
"mencuci tangan yang berlumuran
darah", dan menebus dosa yang
telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan
secara berapi-api seakan tidak
satupun kebaikan di pihak Indonesia.
Padahal ketika kekacauan di Timtim
memuncak justru dialah yang lari
meninggalkan umatnya di Timtim,
dan misionaris Indonesialah yang
tetap berada di Timtim.
Isi khotbah tersebut membuat Rien
bertanya-tanya, apakah benar ia
tengah mendengar khotbah dari
seorang penerima Nobel
Perdamaian? Jika menuruti keinginan
hati, mungkin Rien ingin menuliskan
apa yang didengarnya itu ke dalam
berita. Namun pada saat itu ia
teringat kepada Xanana, Taur Matan
Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga
tokoh Timtim yang tidak pernah
lepas dari senjata itu justru selalu
meniupkan angin perdamaian,
rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak
kepada Xanana dan kawan-
kawannya. Ketimbang menuliskan
berita yang berisi ucapan
menyakitkan dari sang uskup yang
mungkin akan menyulut gesekan
yang lebih luas, baik ia menuliskan
berita yang lebih menyejukkan
setiap pihak. Sebab dengan begitu
perdamaian di Timtim akan lebih
mudah terwujud.
Secara garis besar, dalam buku ini
dapat dilihat bagaimana seorang
wartawan menjalankan tugasnya.
Wartawan tidak hanya dituntut
untuk memiliki kepiawaian dalam
menjalankan profesinya, serta
keberanian dalam menghadapi
situasi yang paling ekstrem, tetapi
juga mempunyai hati untuk
menentukan keutamaan. Virtus in
medio, keutamaan itu ada di
tengah.****
DIPOSKAN OLEH NIGAR
PANDRIANTO DI 01.04
8 KOMENTAR
MENURUTKU:
SENIN, 05 JANUARI 2009
Melihat Berbagai
Dimensi Peristiwa
dengan Humor
Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan
berita setiap harinya. Berbagai
peristiwa dihadirkan ke hadapan
pembaca.secara bertubui-tubi. Isu
demi isu terus berganti setiap
minggunya. Nyaris tidak ada isu
yang dapat bertahan lama. Pembaca
pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media
massa yang selalu mengutamakan
aktualitas. Aktualitas dan kecepatan
menyiarkan sebuah berita menjadi
menjadi sebuah keharusan. Padahal
kedalaman sebuah berita juga
diperlukan agar dimensi-dimensi
dari sebuah berita dapat ditangkap
oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah
cara agar isu-isu yang mengemuka
di media masa tidak terlindas begitu
saja oleh isu-isu lain yang terus
menjejali ruang pikiran pembaca.
Cara ini harus dapat mengajak
pembaca untuk melihat dimensi-
dimensi lain dari sebuah peristiwa,
merenungkan, merefleksikan, dan
bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di
surat kabar. Kolom tidak hadir
dengan perhitungan kecepatan dan
aktualitas, meskipun persoalan yang
dikemukakan dapat saja merupakan
sesuatu yang aktual, tetapi selalu
mengajak pembaca untuk sejenak
melongok peristiwa tersebut dan
memberikan diri untuk
merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini
kolom harus hadir dengan format
dan caranya yang berbeda dan
khas. Di sinilah kepiawaian seorang
penulis kolom dibutuhkan, dan Butet
Kartaredjasa telah memilih caranya
sendiri untuk mengajak pembaca
melihat secara reflektif realitas yang
ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca
merenungkan persoalan atau
fenomena yang terjadi dalam
masyarakat, Butet menghadirkan
tulisan-tulisan yang dapat
mengundang pembaca tersenyum
atau bahkan tertawa. Kolom-
kolomnya tidak hadir dengan cara
yang memberat karena ia tahu,
apabila persoalan yang
disampaikannya saja sudah berat,
maka tidak perlu lagi memberikan
beban kepada pembaca dengan
menghadirkan tulisan-tulisan yang
sulit diicerna. Di sinilah letak salah
satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet
yang pernah dimuat di harian Suara
Merdeka di Semarang ini adalah
hadirnya tokoh Mas Celathu
bersama anggota keluarganya,
yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta
anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh
inilah Butet menyajikan isu-isu
penting yang mungkin terlupakan
dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu
memang sangat dominan dalam
kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok
inilah Butet menyampaikan buah
pikirannya. Tokoh ini
digambarkannya sering muncul
dengan kegelisahan-kegelisahan,
kegeraman-kegeraman, dan bahkan
dengan kebingungan-
kebingungannya sendiri, yang
merupakan respon dari apa yang
dilihat dan dicermati dari
lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya
sosok sederhana yang terkadang
terkesan selalu bebas berbicara,
tukang njeplak, dan tajam dalam
mengritik, tapi juga sering muncul
dengan gagasan yang melawan
mainstream. Sebut saja ketika ia
bicara soal gay dan lesbian dalam
kolomnya yang berjudul Psikopat
Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan
bagaimana Mas Celathu mencoba
meluruskan anggapan umum
masyarakat mengenai para gay dan
lesbian yang terlanjur diberi cap
negatif. Mas Celathu digambarkan
mengajak masyarakat untuk
menghargai keberadaan kelompok
ini. Gay dan lesbian tidak selalu
identik dengan pembunuhan kejam,
mutilasi atau berbagai kejahatan lain.
Justru mereka yang berprofesi
mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun
acap kali tergoda dan ”gatal” untuk
memberikan komentar, tanggapan,
pujian ataupun ejekan dari apa yang
ditemuinya dalam kehidupan sehari-
hari. Ini sesuai dengan istilah
celathu, yang dalam bahasa Jawa
dapat berarti nyeletuk, menyahut,
atau "menyambar" omongan orang
lain. Alhasil, dengan cara yang
jenaka, pentolan teater Gandrik ini,
mengritik dan mengolok-olok
berbagai kejadian atau keadaan yang
menurutnya tidak tepat, melanggar
aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu
memoisisikan Mas Celathu sebagai
pengritik yang selalu bersih
sehingga seakan-akan punya
otoritas menunjuk kesalahan orang
lain alias menghakimi. Di sisi lain
justru ia menghadirkan Mas Celathu
sebagai sosok yang manusiawi,
yang sering khilaf, berbuat kekliruan,
yang terkadang justru terjebak
dalam kondisi atau persoalan yang
sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri
Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan
Mas Celathu tergoda untuk
"berbisnis" di lokasi yang tertimpa
bencana alam. Ia melihat di lokasi
bencana alam inilah ia bisa meraup
keuntungan dengan berdagang
berbagai benda yang dibutuhkan
oleh mereka yang tertimpa bencana
alam. Namun ide tersebut
dimentahkan begitu saja oleh sang
istri. Sang istri menilai gagasan
tersebut tidak etis karena mencari
keuntungan di atas kesusahan orang
lain. Diserang seperti itu, Mas
Celathu pun mengkeret tak berkutik.
Rupanya Mas Celathu yang doyan
memarahi penguasa pun bisa
tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom
dalam Presiden Guyonan ini adalah
bagaimana Butet memakai istilah-
istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar
saja, sebab kolom ini memang hadir
di tengah-tengah masyarakat yang
menggunakan bahasa Jawa. Tetapi
toh persoalan yang disampaikan
bukan persoalan primordial, tetapi
persoalan yang lebih luas lagi
spekttrumnya, persoalan.
Penggunaan istilah dalam bahasa
Jawa justru membuat kolom ini
lebih hidup, lebih "berbumbu"
sehingga unsur humor yang
dibangun di dalamnya lebih kental.
Mereka yang tidak terlalu paham
bahasa Jawa dapat melihat arti atau
makna dari istilah-istilah tersebut di
bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa
Jawa yang dilakukan oleh Butet
tersebut, mengingatkan kita kepada
kolom-kolom almarhum Umar
Kayam yang dimuat di harian
Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta.
Dalam kolom-kolom tersebut Umar
Kayam juga menggunakan istilah-
istilah Jawa yang begitu mengena.
Dengan istilah-istilah itu justru
sendirian, ejekan, ataupun kritik
yang dilontarkan menjadi lebih
"ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet
ini adalah, ia menggunakan "logika
terbalik" untuk memaknai masalah-
masalah yang ditulis. Hal yang
dimaksudkan di sini adalah, apabila
sebuah persoalan dipandang serius,
seseorang cenderung merseponnya
dengan serius pula. Bahkan,
sejumlah teori Barat--baik teori
politik, ekonomi atau sosial--
digunakan untuk memaknai dan
mencarikan jalan keluar dari
persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan
Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia
justru merseponnya dengan cara
yang ringan, sederhana, bahkan
cenderung melucu. Persoalan-
persoalan yang ada selalu
dihampirinya dengan cara yang
membuat orang tergelitik. Inilah
yang dimaksudkan "logika terbalik".
Sesuatu yang tampak serius,
” angker” atau bahkan elit, di kolom-
kolom justru diresponnya hanya
dengan tertawa. Di sini Butet seperti
ingin mengajak pembaca
menghampiri setiap masalah
dengan cara yang terbalik. Ia seperti
ingin berkata, buat apa susah-susah
merunyamkan pikiran hanya karena
memikirkan persoalan yang sudah
terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja
dengan senyum. Buat apa
mengerutkan dahi karena melihat
kesedihan yang terlampau
menyedihkan, lebih baik tertawa
saja agar kesedihan itu lebih dapat
dapat terobati.***