Meluruskan PersoalanMendasar Pesantren

19 Agustus 2009

Judul: Bilik-bilik Pesantren, Sebuah
Potret Perjalanan
Penulis: Nurcholish Madjid
Penerbit: Dian Rakyat dan
Paramadina
Terbit: 2010
Tebal: xxx + 162 halaman
Harga: Rp. 45.000
Pesantren sebagai salah satu pilar
pendidikan modern Islam, tengah
menghadapi tantangan yang tidak
ringan. Ia harus dapat menjawab
berbagai persoalan bangsa di tengah
kemajuan di berbagai bidang yang
tidak mungkin dihindari.
Itu sebabnya pesantaren, yang
selama ini memiliki stigma sebagai
lembaga pendidikan yang
konservatif dan cenderung anti-
modern, harus segera melakukan
perbaikan. Hal tersebut bertujuan
agar langkah pesantren dapat
sederap dengan kemajuan, dengan
tetap menjadi benteng nilai relijius.
Buku yang ditulis oleh Nurcholish
Madjid ini ingin mengungkapkan
masalah-masalah pokok dunia
pesantren di Indonesia. Masalah-
masalah itulah yang menurut
Nurcholish menjadikan pesantren
sulit untuk menemukan solusi
masalah-masalah bangsa.
Salah satu masalah pokok yang
diungkapkan Nurcholish adalah
lemahnya visi dan tujuan pendirian
pesanteran. Menurutnya, banyak
pesantren yang gagal merumuskan
tujuan dan visinya secara jelas. Ini
ditambah dengan kegagalan dalam
menuangkan visi tersebut pada
tahapan rencana kerja ataupun
program.
Akibatnya, sebuah pesantren hanya
berkembang sesuai dengan
kepribadian pendirinya, dengan
dibantu oleh kiai maupuin
pembantu-pembantulainnya. Tidak
mengherankan jika semangat
pesantren adalah semangat
pendirinya.
Bagi Nurcholish, keterbatasan fisik
dan mental pendiri pensantren itu
dapat membuat pesantren menjadi
kurang responsif terhadap
perkembangan-perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat.
Apabila hal ini tidak selesaikan,
maka, pesantren akan dianggap
tidak mampu lagi menghadapai
tantangan-tantangan yang dibawa
oleh kemajuan jaman dan
modernisasi. Kekurangan inilah
yang membuat terjadinya
kesenjangan antara pesantren
dengan "dunia luar".
Oleh sebab itu perubahan harus
dilakukan, dalam arti mengejar
ketinggalan yang telah. Namun
demikian, Nurcholish mengingatkan
sejumlah hal mengenai hal ini,
misalnya perubahan tersebut harus
dimulai dari "orang dalam"
pesantren itu sendiri.
Kedua, perubahan sering tidak dapat
dilakukan secara radikal. Akibtanya,
perubahan dilakukan secara
perlahan. Ini dapat dimulai dari
perubahan kurikulum di pesantren,
yang tidak hanya mengemban
fungsi relijius tetapi juga keilmuan.
Inilah yang diistilahkan oleh
Nurcholish sebagai amanat ganda
pesantren, yakni amanat agama
serta amanat keilmuan. Keduanya
harus dilakukan secara serentak dan
proporsional sehingga tercapai
keseimbangan yang diharapkan.
Untuk itulah buku ini, seperti yang
ditulis oleh Prof Malik Fajar dalam
buku ini, menawarkan sebuah
sintesa antara perguruan tinggi dan
pesantren (hal. 121). Sintesa
keduanya diharapkan dapat
menjawab kebutuhan dua jenis
pendidikan tersebut, yakni
perguruan tinggi yang rasional
namun miskin kedalaman spiritual,
dan pesantren yang kuat dengan
tradisi keagamaan, namun tertatih-
tatih di bidang keilmuan.
Dengan membaca buku ini,
pembaca dapat diajak untuk kembali
memikirkan dan membenahi
pesantren. Dengan upaya ini
pesantren tidak lagi dianggap sebagi
pilar pendidikan yang "nomor dua",
tetapi justru menjadi ujung tombak
pemberdayaan masyarakat.
Dengan begitu pesantren dapat
diharapkan untuk memberikan
solusi atas masalah-masalah yang
seakan tidak berhenti menghujani
bangsa Indonesia.***