Puisi-puisi dari RuangKontemplatif

01 Agustus 2009

Judul: Hujan Meminang Badai
Penulis: Tri Astoto Kodarie
Tebal: xxvii + 122 halaman
Penerbit: Akar Indonesia,
Yogyakarta,
Terbit: Maret 2007
Sebuah puisi lahir dari hasil
perenungan yang mendalam
seorang penyair. Di sini terjadi
semacam interkasi antara si penyair
dengan dunia di sekitarnya. Hasilnya
dapat berupa kegelisahan maupun
pertanyaan-pertanyaan
kontemplatif. Begitu kesan yang
didapat ketika membaca kumpulan
puisi Tri Astoto Kodarie, Hujan
Meminang Badai.
Sejumlah puisi dalam antologi ini
memperlihatkan bagaimana
penyairnya melakukan perenungan
dalam kesunyian. Jika syair-syair
dalam antologi ini dibaca dengan
seksama, kesunyian itu jelas
tertangkap lewat ungkapan-
ungkapan yang digunakan oleh
penyairnya. Lihat saja kutipan puisi
Di Pelataran Mesjid Demak ,
… .akhirnya kutemukan juga/ muara
kelelahan ini/ keheningan yang
menggelayut/ di permukaan embun
dinihari.
Penggunaan “keheningan yang
menggelayut” misalnya,
memperlihatkan bagaimana sang
penyair melakukan penjarakan dari
hiruk-pikuk dunia, hadir secara total
di ruang hening, dan mulai
berdialog dengan dirinya sendiri.
Menariknya, dialog yang terjadi
antara penyair dengan dirinya
sendiri tidak terperosok dalam
keasyikan dengan “dunia batin”-nya
sendiri, tetapi justru menyajikannya
lewat representasi lain sehingga
syair lebih kaya dengan metafor,
dan tak jarang menambah daya
magis maupun kekuatan dari
sebuah puisi. Kata-kata yang
dimaksud misalnya “senjaMu”,
“tanah basah”, “daun-daun gugur”,
“ilalang pantai”, “sayap-sayap air”,
“bau bunga-bunga rumput”,
ataupun “burung-burung hitam
yang menukik”.
Kesunyian, keheningan, dan sepi,
dari puisi Trie Astoto Kodarie juga
tampak pada puisi Surat-surat yang
Tertulis Setelah Senja, Yang Ada
Hanyalah Suara Malam, Ziarah 2,
Sajak Gelombang, atau Meneteslah
Air Mata Sunyi.
Di samping itu, perenungan Trie
Astoto Kodarie menyeret kita pada
titik ekstrem, yakni kematian dan
perjumpaan dengan Tuhan. Ini
bukan sikap eskapis dalam
menghadapi persoalan-persoalan
kehidupan, tetapi lebih kepada upaya
membawa pembaca kepada suatu
titik perenungan diri untuk
menjawab posisi eksitensi
kemanusiannya. Dalam sajak
Mengantar Jenazah di Saat Hujan
Tengah Hari misalnya, Tri Astoto
menulis, ….saat sukma-sukma
mereke bersimpuh/ jasad tergolek
ke liang tanah basah/penuh misteri
antara dua alam/ esok pun kita bakal
melewati jajaran pohon kamboja/
yang dingin dan kaku/ bersama
sahabat-sahabat setia yang akan
mengantarnya//.
Puisi ini dapat dikatakan
“ menghentak”, sebab ia mengajak
pembaca untuk ikut merasakan
aroma kematian itu, memosisikan
diri pembaca sebagai “si mati”, dan
menghadirkan suasana magis
kematian. Ada semacam usaha
untuk melontarkan pembaca dari
ruang dimana ia berada,
menyuguhkan alienasi, dan
menyeret ke “zona tak nyaman”.
Dengan begitu renungan-renungan
yang lebih dalam lagi mengenai
keberadaan diri dapat lebih dicapai.
Sementara itu perjumpaan dengan
Tuhan, saat eksistensi manusia dan
keangkuhannya seketika meluluh,
terlihat dalam puisi Di Pelataran
Mesjid Demak. Di dalam puisi ini
terlihat bagaimana manusia menjadi
tidak ada artinya di hadapan kuasa
Tuhan. Itu sebabnya hanya di
hadapanNya saja manusia bisa
berkeluh kesah, mengadukan nasib
dan persoalan hidup. Di sinilah titik
perhentian ekstrem manusia.
Tengok saja penggalan dari puisi ini,
… biarkan di sini aku mengeja ayat-
ayatmu/ suaraku telah parau untuk
setia memanggilMu/ air mataku
telah kering/ menumpahkan seluruh
riwayat dan perjalanan/.
Perenungan-perenungan Tri Astoto
bergerak sedemikian rupa dengan
sejumlah titik pencapaian, seperti
ketakberdayaan dalam menghadapi
sesuatu, dan kegelisahan ketika telah
terjadi sesuatu yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya, sebutlah
ketika ia melihat guru yang bertahan
dengan idealisme, atau nelayan
yang juga tidak kuasa mengubah
nasib meskipun telah bekerja keras.
Di sini Tri Astoto tidak melakukan
gugatan, protes, atau menuntut
perubahan secara terbuka, tetapi
justru mengajak pembaca untuk
merenungkan realitas yang
dicatatakan dalam puisi-
puisinya.Tengok saja puisi sajak
Anak-anak yang Tidur Gelisah.
Dalam puisi ini Tri Astoto menulis,
… .setetes embun malam di kaca
jendela/ menyaksikan wajah-wajah
yang sarat beban/ wajah anak-anak
merdeka yang tak merdeka/ wajah-
wajah anak zaman/ yang
diterlantarkan zaman/
mengingatnya, air mataku jatuh tak
tertahan//.
Pada puisi tersebut jelas bagaimana
Trie Astoto bereaksi atas apa yang
telah ia cermati dari keadaan di
lingkungan sekitarnya, yakni
kepahitan-kepahitan hidup yang
dialami oleh orang-orang di
sekitarnya. Reaksi serupa sangat
kental dalam puisi-puisi Siang
Namaku, Catatan Harian Seorang
Guru, Tembang Nelayan Dini Hari,
dan Sajak dari Perkampungan
Nelayan.
Menyimak 115 sajak Tria Astoto
Kodarie yang ditulis pada rentang 27
tahun ini, dapat dilihat bagaimana ia
memiliki kedekatan dengan alam,
terutama laut atau danau. Tampak
ada semacam ekstase dan
ketersentuhan pengalaman puitik
ketika ia mengamati--ataupun
melakukan penyatuan diri--dengan
alam.
Dari proses inilah lahir syair-syair
yang sarat metafora. Simak saja
puisi-puisi berjudul Biarkan Layar
Berkibar, Perahu, Mata Laut, Kapal
yang Merapat di Dermaga, Selat
Makasar, atau Suatu Malam di Atas
Perahu.
Dalam puisi Suatu Malam di Stas
Perahu contohnya, Tri Astoto
menulis ….biarkan aku menyusuri
pantai/ dengan perahu dan sisa
badai/ menanti isyarat angin dan
suara/ yang setia mengusap kening
jiwa//. Sementara itu, dalam puisi
Selat Makassar ia
menulis,..kuhanyutkan rindu di selat
ini/ mendung yang letih menambah
perih/ tak ada lagi tembang meniti
buih/ hanya kerlip lampu para
nelayan/ dipermainkan ombak dan
cuaca//.
Secara garis garis besar, puisi-puisi
Tri Astoto Kodarie membawa
pembaca pada ruang interpretasi
yang lebar. Banyak makna yang
bisa digali dari setiap teks yang ada.
Dengan begitu segala perenungan,
hasil refleksi, dan pergulatan batin
yang ada tidak berdiam sampai satu
titik saja, tetapi bergerak dan
mengembara lebih bebas di dalam
ruang pemaknaan
pembacanya.****