Sketsa BuramKepartaian diIndonesia

19 Desember 2009

Judul : Anti Partai
Penulis : Bima Arya Sugiarto
Tebal : x + 188 halaman
Penerbit : Gramata
Terbit : 2010
Keberadaan partai sebagai salah satu
bentuk partisipasi rakyat dalam
kegiatan politik ternyata sarat
dengan persoalan. Persoalan yang
dapat bersifat internal maupun
eksternal itu, berujung kepada dua
hal yakni, terganggunya dinamika
kepartaian yang sehat, serta
kecenderungan rakyat untuk tidak
berpartisipasi dalam kegiatan politik..
Jika kondisi di atas dibiarkan, maka
bukan tidak mungkin muncul
penolakan terhadap partai.
Akibatnya, partai tidak lagi
dipandang sebagai saluran aspirasi
rakyat, tetapi hanya menjadi
medium bagi segelintir orang untuk
memegang kekuasaan. Akhirnya
partisipasi rakyat menjadi minim
sehingga kekuasaan tidak memiliki
legitimasi. Hal yang sama terjadi
juga di Indonesia yang kini memiliki
puluhan partai politik.
Buku yang merupakan kumpulan
tulisan Bima Arya Sugiarto ini
tampaknya ingin menguliti
persoalan tersebut. Ia mencoba
untuk mengidentifikasi persoalan-
persoalan umum dinamika
kepartaian di Indonesia, dan
memberikan analisa kritis terhadap
persoalan yang tersebut.
Dari hasil pengamatan Arya, ada
sejumlah persoalan yang muncul
dalam sistem kepartaian di
Indonesia. Misalnya saja masalah
partai Islam. Dalam temuan Arya,
partai Islam di Indonesia cenderung
kalah pamor dengan partai sekuler.
Hal ini tampak dari jumlah pemilih
partai Islam yang terus menurun
dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Menurut Arya hal tersebut
disebabkan oleh gagalnya partai
Islam untuk merekontestualisasikan
diri di tengah realitas psikis dan fisik
bangsa Indonesia. Dengan kata lain
partai Islam harus mengedepankan
agenda-agenda konkret yang
bersinggungan langsung dengan
kepentingan publik ketimbang
mengusung isu syariat yang
diformalkan (hal. 35).
Persoalan ini sebenarnya tidak
hanya terjadi dengan partai-partai
islam. Tetapi juga partai-partai
agama di luar partai Islam. Ketika isu
yang diangkat hanya berkutat pada
persoalan ideologi atau kepentingan
pemeluk agama minoritas, maka
partai tersebut tidak akan menjadi
primadona dari golongan yang
dicoba untuk disasar sebagai
pemilih.
Meskipun ada kondisi yang berbeda
antara partai Islam dan partai di luar
partai Islam, namun persoalannya
tidak jauh berbeda, yakni partai
berbasis agama tidak menawarkan
isu yang kontekstual. Hal ini
menunjukkan bahwa partai berbasis
agama belum berhasil memberikan
tawaran yang berkenan di hati calon
pemilih.
Selain itu, masalah penting yang
juga diulas oleh Arya adalah
kepemimpin politik. Masalah ini
menjadi strategis karena
kepemimpinan yang baik akan terus
mendorong peran partai yang lebih
besar dalam proses demokrasi.
Sebaliknya kepemimpinan yang
buruk akan mempertinggi
faksionalitas dalam arti negatif.
Salah satu problem kepemimpinan
politik yang dipotret oleh Arya
adalah hadirnya para pemimpin
yang berprofesi sebagai pengusaha,
atau yang dalam istilah Arya adalah
"saudagar". Menurut Arya
keberadaan pemimpin politik
dengan profesi pengusaha tidak
dapat membawa perbaikan secara
signifikan pada terwujudnya partai
politik yang modern.
Sebaliknya, keberadaan saudagar
dalam partai politik hanya terbatas
pada pendanaan operasional partai
dalam jangkan panjang, atau
bahkan membiayai kepentingan
faksi-faksi dalam partai politik
(hal.29).
Inilah yang menurut Arya akan
menghasilkan kepemimpinan
bercorak transaksional.
Kepemimpinan transaksional terjadi
ketika hubungan antara pemimpin
maupun elit politik lainnya dengan
konstiutuen hanya bersifat
pertukaran kepentingan ekonomi
maupun politik saja belaka. Pola
kepemimpinan seperti ini harus
direformasi menjadi pola
kepemimpinan yang
transformasional (hal.74).
Kepemimpinan tranformasional ini
berciri mampu menggerakkan
setiap individu untuk menjadi aktor
utama perubahan. Di sini ikatan
yang dibangun dengan publik lebih
merupakan kesamaan sistem nilai
ketimbang loyalitas personal. Oleh
sebab itu, pemilihan pemimpin
partai harus didasarkan pada visi ke
depan calon pemimpin, bukan
kepada calon-calon karismatis tanpa
visi ataupun gagasan.
Hal yang juga sempat disinggung
oleh Arya dalam buku ini adalah
mentalitas calon legislatif. Dalam
tulisannya yang berjudul Demokrasi
di Republlik Baliho, Arya menilai, dari
pernak-pernik serta atribut-atribut
kampanye yang tersebar di ruang
publik sebenarnya dapat dilihat
mentalitas dan kesiapan si calon
anggota legilatif. Pesan-pesan
komunikasi politik yang tidak
konseptual, ketidakpahaman soal
pencitraan yang sebenarnya
strategis, hingga
kekurangmampuan dalam
menentukan basis konstituen akibat
lemahnya data, memperlihatkan
bahwa para calon anggota legislatif
memang belum mampu membuat
manajemen yang baik dalam
kampanyenya.
Padahal, kondisi sebaliknya terjadi di
negara-negara yang telah memiliki
"kedewasaan" dalam berdemokrasi
di negara-negara maju. Di negara-
negara yang telah matang dalam
berdemokrasi, kampanye dilakukan
dengan pencitraan yang memikat,
pidato yang inpirasional, serta
pertarungan ide yang
mencerdaskan. Dengan mengatakan
demikian, seolah-olah Arya ingin
mengatakan bahwa kampanye-
kampanye seperti itu belum tumbuh
di Indonesia.
Arya mensinyalir bahwa hal itu
disebabkan oleh mandulnya mesin
partai. Mesin-mesin ini hanya aktif
ketika musim pemilu mendekat. Di
luar musim pemilu, hubungan
antara rakyat dengan partai politik
tidak terjadi. Akibatnya pada musim
pemilu, calon anggita legislatif harus
"tancap gas" untuk membangkitkan
kembali memori publik. Padahal
cara ini sangat tidak efektif.
Ujungnya adalah penolakan publik
terhadap partai.
Banyak hal menarik yang dibahas
secara tajam oleh Arya seputar
keberadaan partai dalam buku ini.
Kesemuanya memperlihatkan
seperti apa sesungguhnya wajah
sistem multipartai di Indonesia
dewasa ini. Selain teori, contoh
konkret yang diberikan oleh Arya
membuat wajah tersebut semakin
jelas, bahwa kedewasaan partai-
partai tersebut belum dapat
diharapkan.
Catatan lain tentang buku ini adalah,
tidak semua tulisan disertai daftar
pustaka. Padahal hal ini akan sangat
membantu para mahsiswa dan
peminat politik untuk menelusuri
lebih jauh pemikiran yang dikutip
tersebut, seperti halnya dibisakan
dalam tradisi akademis. Jika saja
penulis sudi sedikit bersusah payah
untuk mencantumkan daftar
pustaka, tulisan-tulisan ini akan jauh
lebih bernas dan menyenangkan
untuk dibaca.(*)