MematahkanPengultusan Mao Tse-tung

19 Januari 2010

Judul : Mao, Kisah-kisah yang Tak
Diketahui
Penulis : Jung Chang dan Jon
Halliday
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 958 Halaman
Terbit : Juli, 2007
Mao Tse-tung adalah tokoh Partai
Komunis China yang sangat
berpengaruh dan kontroversial.
Meskipun begitu para penganut
ajarannya masih ada hingga kini.
Malah mereka tidak segan
mengatakan bahwa Mao masih
hidup di hati mereka.
Pertanyaannya, benarkah ia
seseorang yang layak dikultuskan?
Pertanyaan itulah yang akan dijawab
dalam buku Mao, Kisah-kisah yang
Tak Diketahui ini.
Buku ini secara keseluruhan ingin
membeberkan siapa diri Mao Tse-
tung yang sebenarnya, mulai dari
kepribadian, kebiasaan,
kecenderungan-kecenderungan,
hingga orientasi ideologisnya.
Bahkan kiprah, sepak terjang dan
muslihatnya di dunia politik pun
dikupas habis.
Dengan berbagai arsip, dokumen,
buku dan catatan-catatan lain yang
dikumpulkan dari seluruh penjuru
dunia, penulis buku ini, Jung Chang
bersama Jon Halliday, melakukan
semacam rekonstruksi kesejarahan
Mao. Keduanya berusaha untuk
memperlihatkan Mao dari berbagai
sisi secara objektif.
Untuk melengkapi data yang ada,
penulis buku ini bahkan melakukan
sejumlah wawancara dengan
narasumber yang dianggap relevan
dengan kisah Mao. Mereka adalah
kerabat, teman-teman dekat,
sejawat, tim medis, penerjemah,
sekretaris, negarawan, pengawal
pejabat, sejarawan dan saksi-saksi
kunci dalam peristiwa bersejarah
yang berkait dengan Mao. Para
narasumber tersebut tidak hanya
berasal dari China, tetapi dari seluruh
dunia.
Hasilnya adalah biografi Mao yang
sangat mendalam, lengkap,
spektakuler dan sangat
mengagumkan. Boleh dikatakan,
dari sejumlah buku mengenai Mao
yang pernah ada, buku ini adalah
biografi Mao yang paling kaya dan
tajam. Ketajaman dan kekayaan
buku ini jauh melebihi buku-buku
biografi Mao yang pernah ditulis,
terutama biografi yang ditulis oleh
orang-orang yang sempat berada di
dekatnya, seperti dokter maupun
pengawal pribadi.
Di bagian awal buku ini kompleksitas
psikologis, karakter, pandangan-
pandangan, serta sikap-sikap umum
Mao yang hipokrit, otoriter dan
kejam sudah dimulai diungkapkan,
misalnya saja Mao, dari catatan
pribadinya, mengaku bahwa ia
menyukai pergolakan dan
penghancuran. Ia bahkan akan
merasakan semacam ekstase ketika
melihat atau mengalami situasi
seperti itu.
Lebih lanjut, seperti dikutipkan oleh
penulis buku ini, Mao pernah
mengungkapkan bahwa pendekatan
untuk mengubah China adalah
dengan penghancuran. Menurutnya,
negara harus dihancurkan lalu
dibentuk kembali. Penghancuran
tersebut berlaku juga bagi negara,
bangsa dan umat manusia, dan
orang seperti Mao mendambakan
penghancuran alam semesta,
karena ketika alam semesta yang
lama dihancurkan, alam semesta
baru akan terbentuk.
Pandangan tersebut bukan hanya
letupan emosi sesaat. Buktinya, di
kemudian hari Mao bertahan dengan
filosofi yang sama. Salah satu
penerapannya adalah ketika Mao
melakukan gerakan Lompatan ke
Depan dan Revolusi Kebudayaan.
Dalam gerakan Lompatan ke Depan,
Mao terang-terang siap
mengorbankan 300 juta rakyat
China demi kemenangan revolusi
dunia. Hal ini memang terbukti di
lapangan. Proyek-proyek Mao yang
kelewat percaya diri dan tidak
rasional justru membawa bencana
dan kesengsaraan bagi rakyat China.
Salah satu proyek tidak masuk akal
Mao adalah pembuatan tanur rakyat.
Perintah ini disusul dengan
kewajiban rakyat untuk membuat
tungku-tungku itu tetap menyala
dan menghasilkan baja. Akibatnya
barang-barang logam yang dimiliki
penduduk, termasuk alat rumah
tangga dan pertanian dilebur dan
dilelehkan. Untuk keperluan ini
banyak rumah dirobohkan agar
kayu-kayunya dapat digunakan
sebagai bahan bakar tanur-tanur
tersebut. Namun demikian proyek
ini gagal dan telah membuat rakyat
sangat terpuruk.
Sementara itu dalam masa Revolusi
Kebudayaan yang dimulai pada
tahun 1966, Mao secara terang-
terangan menggusur dan
menghancurkan sesuatu yang
dianggap berasal dari kebudayaan
lama. Hasilnya sangat mengerikan,
warisan sejarah China yang bernilai
tinggi dan merupakan manisfestasi
peradaban bangsa yang paling
nyata dimusnahkan atas perintah
Mao, mulai dari bangunan-
bangunan kuno, monumen-
monumen bersejarah, hingga
perpustakaan. Kemudian, papan-
papan nama jalan dan toko diganti.
Lebih jauh lagi Mao memerintahkan
Pengawal Merah yang terdiri dari
anak-anak muda untuk melakukan
teror dan prakatik penyiksaan
terhadap mereka yang dituduh
memiliki hubungan dengan budaya
lama, seperti penulis, pelukis, hingga
pemain opera. Mereka disiksa
dengan cara ditendang dan dipukul
dengan tongkat berpaku. Para
Pengawal Merah digambarkan
memakai seragam khusus, yaitu
baju hijau, ikat lengan berwarna
merah di lengan kiri, dan Buku
Merah Kecil (Little Red Book) di
tangan kanan, ketika melakukan hal
tersebut. Buku Merah Kecil adalah
buku yang berisi kutipan ajaran-
ajaran Mao.
Teror yang dilancarkan di seluruh
penjuru negeri ini memakan jutaan
korban yang tidak bersalah. Mao,
lewat “mesin pembunuh” Pengawal
Merah berhasil menciptakan
ketakutan sampai rakyat benar-
benar tunduk tanpa daya terhadap
Mao. Selanjutnya Mao seperti
memaksakan jalan terhadap
pengultusan dirinya sendiri, salah
satunya lewat jargon-jargon dan
slogan-slogan yang berorientasi
kepada dirinya.
Selain itu, dalam buku ini
kekejaman-kejaman Mao berhasil
digambarkan secara detil. Mereka
yang membacanya akan
menemukan suasana mencekam
dan kengerian di dalamnya.
Kejahatan, kebrutalan, penginjak-
injakan harkat manusia, dan
kebejatan moral Mao yang
dibeberkan di buku ini setidaknya
akan menggiring pembaca untuk
menilai bahwa pemuja Stalin ini
bukanlah pemimpin besar, tetapi
seorang penjahat kemanusiaan. Itu
sebabnya agak mengherankan jika
masih ada yang menganggap
bahwa Mao adalah pemimpin besar.
Sebagai sebuah biografi, buku ini
sangat mudah diikuti, karena setiap
babnya merupakan periodesasi usia
Mao yang dikaitkan dengan
peristiwa-peristiwa khusus dalam
periode tersebut. Misalnya saja pada
bab Menjadi Orang Komunis,
dituliskan periode ini terjadi pada
tahun 1920-1925, di usia 17-26, lalu
Bersaing dengan Stalin dituliskan
terjadi pada tahun 1947-1949, pada
usia 53-55. Cara seperti ini akan
memudahkan pembaca untuk
mengetahui perkembangan
pemikiran sampai perubahan-
perubahan orientasi politis dari
waktu ke waktu. Sedangkan bagi
para peneliti sejarah, priodesasi
dalam buku ini akan lebih
memudahkan penelusuran setiap
peristiwa sejarah, terutama jika
dikaitkan dengan peritiwa-peristiwa
lain dalam periode yang sama.
Jung Chang--yang juga pernah
mengalami tekanan yang berat di
masa Mao berkuasa--dan Jon
Halliday telah berhasil melakukan
penelusuran sejarah Mao secara
menakjubkan. Semua bahan yang
dikumpulkan diolah dan disusun
kembali menjadi sebuah
historiografi. Cara penyusunan dan
penyampaian yang memikat,
mendorong pembaca untuk
senantiasa mengikuti peristiwa demi
peristiwa, yang acap kali
menyodorkan fakta-fakta yang
mengejutkan, hingga akhir.
Lebih penting lagi, buku ini bukan
sekadar usaha penulisnya untuk
membuat sebuah biografi atau
penulisan sejarah, tetapi untuk
mematahkan dan menghancurkan
pengultusan Mao Tse-tung. Penulis
seperti ingin membuka mata dunia
bahwa Mao telah mencatatkan
sejarah kelam kemanusiaan di
China.****