Penunggalan MaknaTubuh olehKekuasaan

19 Maret 2010

Judul: Dilarang Gondrong, Praktik
Kekuasaan Orde Baru Terhadap
Anak Muda awal Tahun 1970-an
Penulis: Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: April, 2010
Tebal: xxi + 161 Halaman
Harga: Rp. 51.000
Ketika pemaknaan atas tubuh
mengalami penunggalan oleh
praktik kekuasaan, maka tubuh
kehilangan otoritas. Kemerdekaan
tubuh pun tergantikan kekerasan
yang dehuman.
Itulah sekilas isi buku yang ditulis
oleh Aria Wiratama Yudhistira ini.
Dalam buku tersebut Aria ingin
memperlihatkan bahwa kekuasaan
dapat melakukan berbagai upaya
bukan hanya untuk mencapai
tujuan, tetapi juga melanggengkan
kekusasaan. Namun sayangnya,
cara-cara tersebut justru melupakan
hak-hak warga negara.
Secara tegas Aria merujuk kepada
praktik Orde Baru. Orde yang
muncul setelah Presiden Sokerano
jatuh itu, memang menghalalkan
berbagai cara agar cita-citanya
tercapai. Demi pembangunan,
mereka berusaha meredam ataupun
membersihkan berbagai hal yang
dicemaskan dapat mengganggu
stabilitas sosial.
Salah satu cara yang mereka dalam
rangka tersebut adalah pelarangan
terhadap rambut gondrong yang
terjadi sekitar tahun tahun 1960-an
hingga tahun 1970-an. Orde Baru
menganggap pemuda berambut
gondrong adalah pemuda yang
urakan, kotor, tidak bertanggung
jawab, dan tidak mengacuhkan
masa depan diri maupun
bangsanya.
Parahnya, berbagai lembaga
kemudian melakukan diskriminasi
terhadap pemuda berambut
gondrong. Mereka yang mengurus
Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin
Mengemudi, hingga Surat
Keterangan Bebas G30S, tidak akan
dilayani jika yang mengajukan
masih berambut gondrong.
Tindak diskriminasi tidak hanya
sampai di situ, pencitraan terhadap
pemuda gondrong sebagai sosok
yang harus dijauhi kian dipertajam
oleh media massa. Dalam
pemberitaan selalu ditekankan
bahwa pelaku kejahatan adalah
pemuda berambut gondrong.
Akibatnya, sosok pemuda berambut
gondrong selalu diidentikkan sebagai
pelaku kejahatan.
Kuatnya pencitraan tersebut
memunculkan fitnah, misalnya saja
ketika pecah kerusuhan di Bandung
pada tanggal 5 agustus 1973 (hal.
110). Diberitakan, pelaku kerusuhan
adalah sekelompok tukang becak
dan pemuda berambut gondrong.
Padahal, tidak ada fakta yang
mendukung hal tersebut.
Lebih parah lagi, untuk
“ menertibkan” pemuda yang
berambut gondrong, aparat kerap
menggunakan ancaman. Mereka
bahkan tidak segan melakukan
kekerasan terhadap pihak yang
mencoba menghalang-halangi
mereka.
Padahal, sulit diterima oleh akal
sehat bahwa rambut gondrong
berkaitan dengan kejahatan dan
ketidakpdulian terhadap lingkungan
sekitar. Bersikerasnya penguasa
dengan anggapan ini memerlihatkan
watak kekuasaan yang cenderung
mengenakan “kaca mata kuda”
dalam melihat persoalan.
Tentu saja hal tersebut menuai
protes dari berbagai kalangan.
Mereka dengan tegas menolak
kebijakan anti-gondrong yang
terkesan terlalu berlebihan dan
mengada-ada. Sayangnya,
keberatan tersebut tidak banyak
ditanggapi oleh penguasa.
Buku ini memperlihatkan bahwa
manifestasi kekuasaan memang
masuk ke berbagai wilayah,
termasuk tubuh pria. Pemaknaan
atas tubuh pria tidak lagi ditentukan
oleh si pemilik tubuh, tetapi oleh
kekuasaan.
Bukan tidak mungkin praktik serupa
masih terjadi hingga saat ini lewat
berbagai bentuk praktik kekuasaan
yang lain, seperti lembaga
keagamaan hingga otoritas
tertentu.***