Melihat BerbagaiDimensi Peristiwadengan Humor

19 Mei 2010

Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan
berita setiap harinya. Berbagai
peristiwa dihadirkan ke hadapan
pembaca.secara bertubui-tubi. Isu
demi isu terus berganti setiap
minggunya. Nyaris tidak ada isu
yang dapat bertahan lama. Pembaca
pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media
massa yang selalu mengutamakan
aktualitas. Aktualitas dan kecepatan
menyiarkan sebuah berita menjadi
menjadi sebuah keharusan. Padahal
kedalaman sebuah berita juga
diperlukan agar dimensi-dimensi
dari sebuah berita dapat ditangkap
oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah
cara agar isu-isu yang mengemuka
di media masa tidak terlindas begitu
saja oleh isu-isu lain yang terus
menjejali ruang pikiran pembaca.
Cara ini harus dapat mengajak
pembaca untuk melihat dimensi-
dimensi lain dari sebuah peristiwa,
merenungkan, merefleksikan, dan
bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di
surat kabar. Kolom tidak hadir
dengan perhitungan kecepatan dan
aktualitas, meskipun persoalan yang
dikemukakan dapat saja merupakan
sesuatu yang aktual, tetapi selalu
mengajak pembaca untuk sejenak
melongok peristiwa tersebut dan
memberikan diri untuk
merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini
kolom harus hadir dengan format
dan caranya yang berbeda dan
khas. Di sinilah kepiawaian seorang
penulis kolom dibutuhkan, dan Butet
Kartaredjasa telah memilih caranya
sendiri untuk mengajak pembaca
melihat secara reflektif realitas yang
ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca
merenungkan persoalan atau
fenomena yang terjadi dalam
masyarakat, Butet menghadirkan
tulisan-tulisan yang dapat
mengundang pembaca tersenyum
atau bahkan tertawa. Kolom-
kolomnya tidak hadir dengan cara
yang memberat karena ia tahu,
apabila persoalan yang
disampaikannya saja sudah berat,
maka tidak perlu lagi memberikan
beban kepada pembaca dengan
menghadirkan tulisan-tulisan yang
sulit diicerna. Di sinilah letak salah
satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet
yang pernah dimuat di harian Suara
Merdeka di Semarang ini adalah
hadirnya tokoh Mas Celathu
bersama anggota keluarganya,
yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta
anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh
inilah Butet menyajikan isu-isu
penting yang mungkin terlupakan
dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu
memang sangat dominan dalam
kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok
inilah Butet menyampaikan buah
pikirannya. Tokoh ini
digambarkannya sering muncul
dengan kegelisahan-kegelisahan,
kegeraman-kegeraman, dan bahkan
dengan kebingungan-
kebingungannya sendiri, yang
merupakan respon dari apa yang
dilihat dan dicermati dari
lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya
sosok sederhana yang terkadang
terkesan selalu bebas berbicara,
tukang njeplak, dan tajam dalam
mengritik, tapi juga sering muncul
dengan gagasan yang melawan
mainstream. Sebut saja ketika ia
bicara soal gay dan lesbian dalam
kolomnya yang berjudul Psikopat
Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan
bagaimana Mas Celathu mencoba
meluruskan anggapan umum
masyarakat mengenai para gay dan
lesbian yang terlanjur diberi cap
negatif. Mas Celathu digambarkan
mengajak masyarakat untuk
menghargai keberadaan kelompok
ini. Gay dan lesbian tidak selalu
identik dengan pembunuhan kejam,
mutilasi atau berbagai kejahatan lain.
Justru mereka yang berprofesi
mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun
acap kali tergoda dan ”gatal” untuk
memberikan komentar, tanggapan,
pujian ataupun ejekan dari apa yang
ditemuinya dalam kehidupan sehari-
hari. Ini sesuai dengan istilah
celathu, yang dalam bahasa Jawa
dapat berarti nyeletuk, menyahut,
atau "menyambar" omongan orang
lain. Alhasil, dengan cara yang
jenaka, pentolan teater Gandrik ini,
mengritik dan mengolok-olok
berbagai kejadian atau keadaan yang
menurutnya tidak tepat, melanggar
aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu
memoisisikan Mas Celathu sebagai
pengritik yang selalu bersih
sehingga seakan-akan punya
otoritas menunjuk kesalahan orang
lain alias menghakimi. Di sisi lain
justru ia menghadirkan Mas Celathu
sebagai sosok yang manusiawi,
yang sering khilaf, berbuat kekliruan,
yang terkadang justru terjebak
dalam kondisi atau persoalan yang
sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri
Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan
Mas Celathu tergoda untuk
"berbisnis" di lokasi yang tertimpa
bencana alam. Ia melihat di lokasi
bencana alam inilah ia bisa meraup
keuntungan dengan berdagang
berbagai benda yang dibutuhkan
oleh mereka yang tertimpa bencana
alam. Namun ide tersebut
dimentahkan begitu saja oleh sang
istri. Sang istri menilai gagasan
tersebut tidak etis karena mencari
keuntungan di atas kesusahan orang
lain. Diserang seperti itu, Mas
Celathu pun mengkeret tak berkutik.
Rupanya Mas Celathu yang doyan
memarahi penguasa pun bisa
tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom
dalam Presiden Guyonan ini adalah
bagaimana Butet memakai istilah-
istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar
saja, sebab kolom ini memang hadir
di tengah-tengah masyarakat yang
menggunakan bahasa Jawa. Tetapi
toh persoalan yang disampaikan
bukan persoalan primordial, tetapi
persoalan yang lebih luas lagi
spekttrumnya, persoalan.
Penggunaan istilah dalam bahasa
Jawa justru membuat kolom ini
lebih hidup, lebih "berbumbu"
sehingga unsur humor yang
dibangun di dalamnya lebih kental.
Mereka yang tidak terlalu paham
bahasa Jawa dapat melihat arti atau
makna dari istilah-istilah tersebut di
bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa
Jawa yang dilakukan oleh Butet
tersebut, mengingatkan kita kepada
kolom-kolom almarhum Umar
Kayam yang dimuat di harian
Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta.
Dalam kolom-kolom tersebut Umar
Kayam juga menggunakan istilah-
istilah Jawa yang begitu mengena.
Dengan istilah-istilah itu justru
sendirian, ejekan, ataupun kritik
yang dilontarkan menjadi lebih
"ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet
ini adalah, ia menggunakan "logika
terbalik" untuk memaknai masalah-
masalah yang ditulis. Hal yang
dimaksudkan di sini adalah, apabila
sebuah persoalan dipandang serius,
seseorang cenderung merseponnya
dengan serius pula. Bahkan,
sejumlah teori Barat--baik teori
politik, ekonomi atau sosial--
digunakan untuk memaknai dan
mencarikan jalan keluar dari
persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan
Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia
justru merseponnya dengan cara
yang ringan, sederhana, bahkan
cenderung melucu. Persoalan-
persoalan yang ada selalu
dihampirinya dengan cara yang
membuat orang tergelitik. Inilah
yang dimaksudkan "logika terbalik".
Sesuatu yang tampak serius,
” angker” atau bahkan elit, di kolom-
kolom justru diresponnya hanya
dengan tertawa. Di sini Butet seperti
ingin mengajak pembaca
menghampiri setiap masalah
dengan cara yang terbalik. Ia seperti
ingin berkata, buat apa susah-susah
merunyamkan pikiran hanya karena
memikirkan persoalan yang sudah
terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja
dengan senyum. Buat apa
mengerutkan dahi karena melihat
kesedihan yang terlampau
menyedihkan, lebih baik tertawa
saja agar kesedihan itu lebih dapat
dapat terobati.***