Kemanusiaan danKebermaknaan dalamObituari

01 Agustus 2010

Judul : Mengenang Hidup orang
Lain, Sejumlah Obituari
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia, Januari 2010
Halaman : vii + 489 Halaman
Membaca obituari selalu membawa
seseorang kepada dua konsekuensi.
Pertama, mengingat kembali jasa-
jasa, kebaikan, ide-ide, bahkan
kekurangan tokoh yang telah tiada.
Kedua, mengingatkan bahwa
manusia tidak abadi, ada saatnya ia
harus berpulang ke alam baka.
Paling tidak, itulah yang dapat
ditangkap dari kumpulan obituari
yang ditulis oleh Ajip Rosidi ini.
Dalam setiap obituari yang
ditulisnya, Ajip secara lugas
mengisahkan kelebihan-kelebihan
dari tokoh-tokoh yang sedang
dibicarakannya. Ia seperti ingin
memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh
itu memang layak untuk dikenang,
dihormati dan dihargai. Paling tidak,
di mata Ajip, mereka bukanlah
orang biasa, tetapi orang-orang
yang mempunyai visi, integritas,
berkepribdian, konsisten, serta setia
terhadap idealisme.
Penghargaan Ajip terhadap tokoh
yang ia kisahkan bukanlah sekadar
asal sebut, tetapi didasarkan atas
pengalaman pribadinya dengan
tokoh bersangkutan. Hal ini terlihat
dari cerita Ajip yang menyatakan
bahwa ia kerap berkorespondensi,
bergaul akrab bahkan berpolemik
dengan mereka. Ini terjadi baik
ketika Ajip masih mengajar di
Jepang maupun ketika ia berada di
Indonesia.
Inilah yang membuat obituari
tokoh-tokoh dalam buku ini menjadi
lebih kaya dan bernas. Ajip tidak
hanya mengisahkan secara umum
ketokohan mereka, tetapi juga
menyampaikan hal-hal kecil yang
bersifat human intersest dari para
tokoh tersebut yang mungkin tidak
diketahui secara umum.
Sebut saja ketika Ajip mengisahkan
Suhamir, seorang arsitek dan ahli
purbakala asal Bandung. Dalam
tulisannya Ajip mengatakan bahwa
tokoh ini adalah arsitek Taman
Makam Pahlawan Cikutra di
Bandung. Ironisnya, tidak banyak
masyarakat Kota Kembang itu yang
mengenal Suhamir. Padahal jasanya
tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat Bandung. Menurut Ajip,
Suhamir ikut pula merestorasi Candi
Prambanan.
Catatan menarik dari Ajip mengenai
Suhamir adalah, ia salah satu orang
turut merencanakan pembuatan
kampus Universitas Gadjah Mada
(hal.254) yang honorariumnya dari
pemerintah Republik Indonesia
belum dibayarkan, setidak hingga
tulisan tersebut dibuat pada tahun
1967.
Menurut Ajip, alasan Suhamir tidak
mau menerima bayaran tersebut
karena sejumlah petugas yang tidak
malu-malu meminta komisi jika
honorarium tersebut dicairkan.
Dengan alasan tidak mau ikut-ikutan
“ bermain kotor”, Suhamir akhirnya
memilih untuk tidak mengambil
uang yang kala itu jumlahnya
sangat besar.
Keluasan pergaulan Ajip dengan
orang-orang yang berpengaruh dan
disegani dari berbagai kalangan,
juga ikut membuat obituari yang
ditulisnya semakin berwarna.
Apalagi ia sanggup merangkai kisah
dari tokoh yang ditulisnya dengan
tokoh-tokoh lain sehingga obituari
yang ditulisnya sanggup mengajak
pembaca melihat dan menelusuri
ketokohan seseorang dengan lebih
luas.
Inilah yang membuat sebuah
obituari tidak melulu menjadi
sebuah kisah yang bersifat
individual, tetapi juga menjadi
sebuah kenangan tentang banyak
orang. Dengan begitu obituari
menjadi lebih hidup dan sarat
makna karena di dalamnya terdapat
kisah interaksi antara manusia yang
mencirikan kemanusiaan itu sendiri.
Obituari seperti ini tidak hanya
inspiratif tetapi juga menyadarkan
arti kemanusiaan siapa saja yang
membacanya.
Meksipun obituari yang ditulis oleh
Ajip dalam buku lebih bersifat
penghormatan, namun Ajip tidak
segan untuk melakukan kritik
terhadap tokoh yang ditulisnya. Ajip
seperti tidak memiliki beban untuk
melulu mengatakan hal yang manis
terkait dengan seorang tokoh.
Sebaliknya, dengan lugas Ajip
menyampaikan kritiknya terhadap
seorang tokoh.
Lihat saja ketika Ajip menulis obituari
Pramoedya Ananta Toer. Dalam
tulisannya Ajip tidak hanya
menyayangkan Pramoedya yang
tidak kunjung memperoleh
penghargaan Nobel kendatipun
sudah dicalonkan sebagai
penerimanya, namun juga ia
mengritik aksi Pramoedya yang
menguliti seniman penandatangan
Manifesto Kebudayaan lewat ruang
Lentera dari surat kabar Bintang
Timur.
Seniman lain yang juga terkena kritik
oleh Ajip adalah Dodong
Djiwapradja. Penyair Sunda yang
pernah dianggap memiliki haluan
politik yang kekiri-kirian. Bagi Ajip, di
satu sisi Dodong bukanlah
sastrawan yang produktif. Malah ia
dikatakan sebagai penulis yang tidak
punya motivasi untuk menulis
sehingga ilmunya tidak dapat
diamalkan saecara maksimal.
Padahal Ajip berulang kali mencoba
memotivasinya untuk menulis. Kritik
ini tentu saja bukan bentuk
ketidaksukaan Ajip kepada Dodong,
tetapi cerminan Ajip yang
menyayangkan kemampuan dan
potensi dari sahabatnya itu.
Pada tulisan lain, Ajip juga tidak
segan mengritik Prof.Dr. Fuad
Hassan yang ketika menjadi menteri
Pendidikan dan Kebudayaan
memecat dengan tidak hormat
Riyono Pratikto dari Universitas
Padjadjaran, Bandung, karena
dituduh terlibat Gestapu. Dalam
tulisan tersebut, dengan sedikit sinis,
Ajip mengritik bagaimana mungkin
Fuad Hassan yang katanya memiliki
minat yang besar terhadap sastra,
kesenian, filsafat serta berkawan
dengan para seniman dapat dengan
mudahnya menandatangani surat
pemecatan Riyono, yang juga
seorang penulis produktif, tanpa
melihat kembali secara baik latar
belakang yang sesungguhnya (hal.
398).\
Ajip memang seorang yang lepas
bila mengemukakan pendapatnya.
Ia berbicara langsung apa adanya
tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Ketidaksukaannya pada seseorang
ataupun perilaku seseorang selalu ia
tuliskan apa adanya, tanpa dilebih-
lebihkan ataupun “bumbu-bumbu”
lain.
Sebagai budayawan, Ajip
tampaknya mempunyai perhatian
khusus terhadap dunia sastra
ataupun budaya. Tidak
mengherankan jika dalam kumpulan
obituari ini berkali-kali Ajip
mempersoalkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan sastra
maupun kebudayaan. Tengok saja
tulisannya yang berjudul Arenawati,
Sasterawan Negara (hal.414). Dalam
tulisan ini secara tidak langsung ia
ingin mengatakan bahwa
pemerintah Indonesia tidak terlalu
peduli dengan dunia sastra ataupun
sastrawannya.
Dalam tulisan itu Ajip memuji
pemerintah Malaysia yang justru
mengangkat Arenawati, sastrawan
asal Indonesia, menjadi Sasterawan
Negara di negeri itu. Kata Ajip,
beruntung Arenawati menjadi
warga negara Malaysia. Pasalnya,
walaupun Arenawati berhasil
menulis karya yang lebih hebat dari
La Galigo, belum tentu ia mendapat
penghargaan dari pemerintah
Indonesia.
Pengalaman Ajip yang sangat kaya,
juga membuat obituari yang
ditulisnya memiliki spketrum yang
meluas. Obituari yang ditulisnya
tidak hanya bicara soal seseorang,
tetapi juga sanggup menyentuh
persoalan-persoalan lain, baik itu di
bidang kebudayaan, ekonomi
maupun politik. Tidak heran jika satu
dua kali kita akan terhenti sejenak
untuk merefleksikan tulisan Ajip
(bahkan ada yang ditulis 40 tahun
lalu) dan memproyeksikannya
dengan kondisi riil yang ada pada
masa kini. Pendek kata, obituari
yang ditulis oleh Ajip berdimensi ke
masa depan, dalam arti sanggup
untuk memotret realitas masa lalu
dan memproyeksikannya pada
kekinian.
Kekurangan kecil tentang buku ini
adalah, beberapa kali ditemukan
sejumlah singkatan pada beberapa
artikel, seperti “al.” dan “kl”,
mungkin artinya “antara lain” dan
“kurang lebih”. Tidak jelas apakah
singkatan itu dibiarkan untuk
mempertahanakan orisinalitas, atau
karena memang terlewat begitu saja
oleh editor.
Pertanyaan ini muncul karena
banyak dari obituari dalam buku ini
ditulis pada tahun 1960-an ketika
penggunaan Bahasa Indonesia di
surat kabar belum terlalu mendapat
perhatian seperti sekarang.
Singkatan tersebut sesekali
membuat pembaca terhenti sejenak
untuk mencoba mengartikannya.
Meskipun demikian, hal itu tidak
mengganggu substansi dari tulisan
yang ada.
Hal yang pasti, obituari yang
disampaikan oleh Ajip
diformulasikan sedemikian rupa
sehingga pembaca ditarik ke sebuah
ujung yang mempertanyakan
eksistensi dirinya di dalam dunia.
Eksistensi ini boleh dikatakan bersifat
paradoks. Di satu sisi eksitensi
manusia diperhitungkandan
diperjuangan, namun di sisi lain
eksistensi seakan menjadi semu
karena pada akhirnya manusia
harus mati.
Namun tentu saja Ajip tidak ingin
menawarakan pesimisme terhadap
kehidupan. Sebaliknya, ia ingin
mengajak setiap orang untuk
berbuat lebih banyak agar hidupnya
lebih bermakna, bagi diri sendiri
maupun orang lain.***