MempertanyakanHumanitasKolonialisme

10 Agustus 2010

Judul : Emilie Jawa 1904
Penulis: Catherien Van Moppes
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia
Cetak: Juli 2010
Halaman: 481 halaman
Kolonialisme tidak pernah
membawa kesejahteraan bagi
rakyat yang dijajah. Sehumanis apa
pun wajah kolonalisme, hasilnya
hanyalah dehumanisasi. Tidak
mengherankan jika pemberontakan
kerap terjadi bahkan ketika praktik
politik etis dilaksanakan di tanah
jajahan.
Itu yang dapat ditangkap dalam
buku Emilie Jawa 1904 ini. Dalam
buku ini digambarkan bagaimana
poltik etis yang dicoba dilakukan di
Hindia Belanda ternyata tetap
mendapatkan penolakan dari kaum
yang merasa terjajah.
Itulah yang disaksikan oleh Emilie,
seorang perempuan berdarah
Prancis, istri seorang asisten
keamanan pemerintah kolonial.
Emilie yang datang ke Jawa di tahun
1904 untuk mendampingi
suaminya, Lucien, adalah tokoh
sentral dalam novel ini.Ia
digambarkan mengalami sendiri
pergolakan di tanah jajahan pada
masa itu.
Setengah bagian awal buku ini
menceritakan apa saja yang
dilakukan oleh Emilie sebagai
persiapan untuk datang ke tanah
jajahan, termasuk interaksinya
dengan sejumlah pejabat
pemerintah kolonial, baik di Prancis
maupun Belanda.Dari interaksi inilah
terlihat bagaimana pandangan
orangorang di negeri kolonial dalam
memandang pribumi di tanah
jajahan.
Bagi pemerintah kolonial,
orangorang pribumi di tanah
jajahan adalah orang-orang yang
dungu, primitif, dan perlu dididik
untuk menjadi orangorang yang
lebih beradab dan manusiawi.Oleh
karenanya, dipandang perlu untuk
mengukuhkan moralitas masyarakat
setempat dengan membangun
fondasi peradaban bagi orang Jawa
yang dianggap kafir dan barbar (hal
84).
Setiba di Jawa, Lucien dibebani tugas
untuk ikut mengampanyekan arti
kebijakan humanis. Tugas itu
dilengkapi dengan perintah untuk
meredam segala bentuk gejolak
yang bernada anti-Barat.Pada masa
itu memang banyak muncul
golongan anti-Barat yang disebut
sebagai kaum idealis fanatik gaya
baru. Mereka banyak dipengaruhi
pemberontak serta separatis dari
China, Jepang, maupun Filipina.
Emilie pun menjadi akrab dengan
orang-orang yang dekat dengan
dunia pergerakan. Inilah yang
menjadikan pandangan serta posisi
Emilie menjadi berseberangan
dengan suaminya. Belakangan, hal
ini menjadi legitimasi baginya untuk
mengkhianati pernikahanya, lalu
menjalin cinta dengan Anendo yang
terkait dengan tokoh-tokoh
pemberontak.
Jalinan kisah cinta antara Emilie dan
Anendo tampak digunakan oleh
penulis buku ini, Catherine Van
Moppes, sebagai salah simbol
perlawanan terhadap kolonialisme.
Lucien yang berada di pihak kolonial
dilawan oleh Emilie yang bersimpati
dengan gerakan-gerakan anti
hegemoni Barat.
Catherine berhasil membawa
pembaca ke dunia masa lalu yang
memikat.Pada saat yang bersamaan
ia juga berhasil menarik pembaca ke
situasi politik dan pusaran ideologi
yang berlangsung kala itu. Akhirnya,
banyak pelajaran yang dapat diambil
dari buku ini, terutama mengenai
makna kebebasan dan
kemerdekaan.***