Menuju Kritik Sastrayang Bermartabat

12 Agustus 2010

Judul: Dari Zaman Citra ke Metafiksi,
Bunga rampai Telaah sastra DKJ
Penulis:Bramantio, dkk
Penerbit:Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta
Tahun: Januari 2010
Halaman: 528 halaman
Perdebatan mengenai kritik sastra
tampaknya tidak lagi berkutat
seputar validitas metodologi,
kemutlakan kaidah sebuah kajian,
ataupun jenis pendekatan kritik yang
dilakukan, melainkan telah bergeser
ke persoalan penciptaan kritik sastra
yang bermartabat sehingga mampu
memberikan kontribusi yang
signifikan dalam perkembangan
sastra maupun kritik sastra itu
sendiri.
Persoalannya adalah, bagaimana
kritik sastra yang bermartabat
diciptakan sehingga kritik tersebut
benar-benar kreatif sehingga
sanggup melakukan sebuah
interpretasi maupun usaha
eksegesis yang lebih kaya dari
sebuah karya sastra? Siapa yang
seharusnya melakukan kritik sastra?
Kemudian, apakah kritik yang ditulis
dapat dikomunikasikan sehingga
dapat “berbunyi” dan dapat
menyusuri lorong referensi
pembaca awam?
Pengajuan pertanyaan-pertanyan
inilah yang membuat kritik sastra
menjadi sesuatu yang tidak
gampang untuk ditulis. Pertama-
tama karena seorang penulis kritik
harus memiliki kapasitas yang
mumpuni, baik dari sisi teori
maupun “kelengkapan
subyektivitas” lain untuk
menganalisa sebuah karya. Kedua,
ia harus sanggup
mengomunikasikan “temuan” dari
sebuah karya kepada pembaca.
Apabila pembaca tidak dapat
memahami apa yang dicoba
disampaikan oleh penulis kritik,
maka si kritikus telah gagal
melakukan kritik.
Hadirnya buku Dari Zaman Citra ke
Metafiksi, tampaknya ingin
menjawab persoalan di atas. Buku
yang merupakan antologi tulisan
pemenang lomba kritik sastra yang
diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Jakarta pada tahun 2007
dan 2009 ini terutama dilakukan
untuk membasahi “keringnya” kritik
sastra di wilayah kesusatraan
Indonesia mutakhir.
Lalu seperti apakah kritik sastra yang
diharapakan? Apakah kritik sastra
seperti yang termuat dalam buku ini
adalah model kritik yang
diharapkan? Bagiamana
kecenderungan kritik sastra yang
disampaikan dalam buku ini? Mari
kita lihat.
Dari Zaman Citra ke Metafiksi terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama
adalah kritik sastra yang diitulis
dengan tema Kepengrajinan
(craftmanship) dalam Sastra
Indonesia Mutakhir, sedangkan pada
bagian kedua, kritik sastra ditulis
dengan tema Sastra Indonesia
Memasuki Abad 21.
Pada tema pertama, kritik ditulis
dengan melihat atau menelaah
epistemologi sastrawan dalam
membentuk karyanya, demikian
ditulis oleh tim juri dalam pengantar
bagian pertama buku ini. Jadi, dalam
telaah ini dicoba ditemukan hal
paling mendasar dari pembentukan
sebuah karya sastra berdasarkan
evidensi-evidensi objektif yang
dapat ditemukan dalam karya sastra
itu sendiri.
Di sini, telaah dimulai dari analisa
teks menuju kompleksitas
sastrawannya. Teks tidak ditelaah
untuk melihat konstruksi ataupun
seluk-beluk pemikiran yang seorang
sastrawan, namun lebih mendasar
lagi yakni craftmanship itu sendiri.
Tidak mengherankan apabila telaah
yang dilakukan begitu kental dengan
“ pemecahan teks”, yakni membagi
teks menjadi pecahan-pecahan kecil
yang kemudian, dan dimaknai untuk
kemudian menerjemahkannya
sebagai satu kesatuan.
Hal ini tampak pada telaah berjudul
Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang
Bercerita dan Menulis tentang
Dirinya Sendiri yang ditulis oleh
Bramantio. Dalam telaah ini
Bramantio dengan cermat dan detil
menelaah novel Cala Ibi yang ditulis
oleh Nukila Amal. Dalam telaahnya,
Bramantio bahkan menawarkan
cara atau strategi pembacaan novel
Cala Ibi agar kerumitan dalam
“ membaca” simbol di dalamnya
dapat lebih mudah dilakukan.
Kritik yang yang menduduki tempat
teratas pada sayembara kritik sastra
tahun 2009 ini tampak mencoba
untuk melepaskan teks sastra dari
teks-teks lain di luar karya sastra
tersebut, yang dalam istilah Afrizal
Malna disebut sebagai
“ pembersihan”, agar teks tersebut
lebih steril sehiingga lebih mudah
untuk diidentifikasi.
Dalam hal ini, kritikus menyadari
bahwa Cala Ibi adalah novel yang
kaya dengan metafora, kerumitan
sudut pandang cerita, penokohan,
dan tanda-tanda yang sulit dipahami
begitu saja oleh pembaca, sehingga
tawaran pendekatan yang dilakukan
pun memang tidak dapat dilakukan
secara biasa.
Beberapa kritik sastra dalam antologi
lainnya pun mencoba untuk
“ memeriksa” teks-teks sastra untuk
menelaah kerumitan “relasi” antara
dunia seorang sastrawan dengan
dunia yang melingkupinya. Sebut
saja telaah atas sajak-sajak Afrizal
Mana yang ditulis oleh Tia Setiadi.
Tia secara jelas dapat
memperlihatkan bagaimana “relasi”
atau ketegangan antara Afrizal
dengan “teks-teks” dunia yang
dihadapinya.
Bagian kedua dari buku ini adalah
telaah sastra dengan tema Sastra
Indonesia Memasuki Abad Ke-21.
Dalam telaah ini diharapkan ada
jawaban atas sejumlah pertanyan,
seperti adakah kebaruan dalam
sastra Indonesia setelah tahun 2000?
Apakah konteks kekinian
memengaruhi proses penciptaan
sastra Indonesia mutakhir? (hal.299).
Dalam telaah yang dilakukan,
tampaknya pertanyaan-pertanyaan
tersebut dapat dijawab. Sebut saja
telaah berjudul Memandang Bangsa
dari Kota: Telaah atas Cala Ibi (Nukila
Amal dan Jangan Main-main dengan
kelaminmu (Djenar Maesa Ayu).
Penulisnya, Manneke Budiman,
tampaknya berhasil membongkar
teks-teks kota dalam kedua karya
sastra tersebut.
Dari telaah yang dilakukan tersebut,
tampak bagaimana sikap para
sastrawan terhadap penanda dunia
kontemporer, termasuk
menemukan makna dirinya dalam
persoalan-persoalan khas kota
besar. Mereka tidak hanya
mengkritik sekaligus berdamai
dengan tawaran kenikmatan kota,
tetapi juga melihatnya sebagai
simtom keterbelahan bangsa. Kota
hanya sesuatu yang terus
mempercantik diri tanpa pernah
dapat memberikan arti pada bangsa.
Di sini Manneke berusaha
memperlihatkan bahwa karya sastra
Indonesia mutakhir memang masih
mempersoalkan hiruk pikuk kota
yang dianggap selalu
berkecederungan memiliki persoalan
dengan masalah moral.
Tidak hanya itu, pada bagian kedua
ini seperti ingin diperlihatkan bahwa
sastra mutakhir pun masih
berbicara soal spiritualitas Tulisan
yang menyebutkan hal ini adalah
Religiusitas dan Erotika dalam sajak-
sajak acep Zamzam Noor yang
ditulis oleh Tia Setiadi. Dalam tulisan
ini Tia Setiadi berhasil
mengidentifikasi bahwa sajak-sajak
Acep Zamzam Noor banyak
berbicara soal Tuhan dan relasinya
dengan aku-lirik. Namun di saat
yang bersamaan Acep juga bicara
soal erotika dan kekagumannya
kepadaperempuan.
Sepintas hal ini tampak
bertentangan. Namun dengan
argumentasinya, Tia ingin
mengatakan bahwa reiljiusitas dan
erotika adalah dua hal yang memiliki
keterkaitan dan pararelisme yang
erat (hal.478). Dengan mendasarkan
gagasannya pada pemikiran George
Bataille--seorang penulis
Prancis--,Tia setiadi melihat bahwa
pengalaman erotika memiliki
kesamaan dengan penyatuan
dengan sesuatu yang bersifat ilahi
ataupun mistik. Perbedaannya
adalah, dalam erotika kedua insan
harus berubah dan sama-sama
bertindak untuk saling meluruhkan
diri menjadi satu, sedangkan dalam
momen mistik hanya
mengisyaratkan subjek hanya
dalam keadaan hening-bening dan
sunyi (hal. 479). Apa yang
disampaikan oleh Tia Setiadi ini
dapat dikatakan, merupakan
pemakanaan baru dari saja-sajak
Acep Zamzam Noor.
Pendek kata, telaah atau kritik yang
ada pada buku ini memang
menawarkan kebaruan dalam
pemaknaan karya sastra. Hal ini
menunjukkan bahwa para
kritikusnya memiliki kapsitas yang
memadai untuk melakukan sebuah
kritik. Namun tentu saja kritik yang
dilakukan tidak bersifat final, sebab
karya sastra adalah teks terbuka
yang masih dapat dimaknai secara
terus menerus sesuai konteksnya.
Meskipun begitu, terbitnya buku ini
patut dihargai karena dengan cara ini
dunia kritik sastra Indonesia akan
lebih kaya. Terlebih dari itu, usaha
penerbitan kritik sastra dengan
melewati mekanisme penjurian
seperti yang dilakukan oleh Dewan
Kesenian Jakarta akan membuat
kritik sastra yang dilakukan akan
lebih bermartabat. ***