Siapa yang tidak kenal olahraga sepak bola, salah satu cabang
olahraga yang paling banyak peminatnya di seluruh dunia. Dari penjuru
ujung kampung hingga kota metropolitan dijamin pasti tahu sepak bola.
Sekalipun ada yang tidak suka dengan sepak bola, sedikit banyak mereka
pasti mengetahuinya. Itulah sepak bola dari kompetisi liga kampung
hingga turnamen semacam piala dunia, bagi yang suka bola sungguh
menarik minat, minimal bisa komentar sambil menggerutu jika tim nya
kalah dan bersorak gembira jika menang.
Sekitar beberapa bulan lalu, PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia) membuat wacana menarik untuk kemajuan sepak bola Indonesia
yang hingga saat ini masih dianggap miskin prestasi dan tambah semakin
ketinggalan walau hanya untuk kelas kawasan ASEAN ( AFF CUP dulunya
Tigers Cup). Apalagi kelas piala dunia ya
Apa wacana itu? Wacana itu adalah mencoba menaturalisasi
pemain-pemain bola di eropa sana yang dianggap mempunyai darah
Indonesia. Untuk melihat daftar pemain bola keturunan Indonesia, klik
di sini.
Secara sederhana, menurut saya naturalisasi adalah memberikan
kewarganegaraan buat para pemain bola keturunan Indonesia itu sehingga
mereka bisa menjadi anggota tim nasional Indonesia yang tentunya siap
dimainkan ketika ada turnamen antar negara.
Beberapa pemain sudah ada yang datang seperti misalnya Irfan bachdim,
Kim J Kurniawan, Alessandro Trabucco dalam laga amal bulan Agustus
lalu di Malang dan Surabaya, sementara Sergio Van Dijk tidak bisa hadir
karena harus membela klubnya di Australia.
Bagi saya, sebagai orang yang bukan pengamat bola tapi sebatas suka
nonton bola, tentunya ide ini bisa dikatakan postif namun juga bisa
menjadi bumerang bagi PSSI sendiri. Karena kebijakan menaturalisasi
sesungguhnya bisa dikatakan program instan. Apakah hanya karena putus
asa dalam pembinaan tim nasional sehingga jalan pintas pun diambil,
dengan harapan mampu memberikan prestasi bagi Indonesia di bidang sepak
bola. Atau hanya memainkan emosi sesaat masyarakat pencinta bola di
tanah air jika kita juga bisa seperti negara-negara lain yang mudah
menaturalisasi pemain bolanya.
Saya malah beranggapan, jangan sampai ketika kebijakan ini dijalankan
para pemain bola keturunan itu sibuk menjadi selebritis baru (maklumlah
bahasa Indonesia yang patah-patah biasanya disukai). Wajah menarik dan
berbagai macam “keunggulan” daripada pemain Indonesia asli menjadikan
mereka seperti anak manja; minta dilayani ini dan itu. Takutnya
ujung-ujungnya malah menjadi bintang film atau sinetron daripada
memajukan tim nasional Indonesia.
Belum lagi soal gaji, sanggupkah PSSI dan Kementerian Pemuda dan
Olahraga membayar sekian banyak pemain yang akan dinaturalisasi.
Sementara liga Divisi Utama saja tiap provinsi harus berkorban
bermilyar-milyar demi membentuk klub bola yang bonafid dengan
menggunakan uang APBD. Belum lagi setiap pertandingan yang hampir selalu
diwarnai tawuran, pengaturan skor hingga suporter yang tidak bisa
menerima kekalahan tim kesayangannya.
Tugas utama PSSI dan Kementrian Pemuda dan Olahraga sebenarnya
membenahi kompetisi jika ingin memajukan sepak bola Indonesia. Sambil
melakukan tugas utamanya, proses menaturalisasai bisa dijalankan. Kalau
pemain yang akan dinaturalisasi bersedia sih oke-oke saja. Tetapi
kalau mereka tidak mau, bagaimana ya?
Penulis pernah mendengar wawancara M. Kusnaeni (wartawan olahraga
disalah satu media cetak olahraga di Indonesia) bahwa tim Jerman saja
perlu waktu 10 tahun untuk membangun tim sepak bola yang solid. Caranya
dengan membina dan memantau pemain muda serta memperbaiki sistem
kompetisi di dalam negeri.
Kita sudah 65 tahun merdeka dengan jumlah penduduk ratusan juta
jiwa. Tetapi sepertinya susah sekali membuat tim sepak bola yang solid
dan disegani Negara lain. Ada apa?
Tidak ada kata terlambat bagi PSSI untuk membangun tim sepak bola
yang solid. Dengan dukungan para pecinta sepak bola, semoga cita-cita
itu bisa tercapai. Maju dan berprestasi tim nasional sepak bola
Indonesia.
Garuda di dadaku
Garuda kebanggaanku
Ku yakin hari ini pasti menang
Garuda kebanggaanku
Ku yakin hari ini pasti menang