Eksklusi Sosial PetaniChina

19 Agustus 2009

KEMAJUAN ekonomi China memang
pesat dan mencengangkan. Tidak
mengherankan jika di Asia,secara
ekonomi, China bukan lagi anjing
lucu, tetapi telah berubah menjadi
serigala menggetarkan banyak
negara.
Hal inilah yang acap menjadi
inspirasi bagi sejumlah negara di
Asia untuk menggenjot kemajuan
ekonomi mereka untuk
memperoleh pencapaian yang sama
dengan negeri tirai bambu itu.
Namun di balik kemajuan itu,
banyak cerita memilukan terjadi.Hal
ini terjadi terutama pada para petani.
Dalam buku ini dikisahkan
bagaimana para petani di China
mendapat tekanan yang luar biasa
dari para pejabat lokal.Tekanan
tersebut dilakukan dengan cara yang
bahkan tidak berperikemanusiaan.
Akibatnya, para petani tersebut
menghadapi penderitaan yang
hebat. Salah satu bentuk tekanan
yang dilakukan pejabat lokal adalah
pemungutan pajak atas para petani
dengan jumlah yang jauh di luar
batas kemampuan. Pungutan pajak
tersebut tidak lagi memandang
kemampuan petani, para pejabat
lokal hanya mau tahu para petani
tersebut melunasi pajaknya
sesegera mungkin.
Ironisnya, para pejabat itu
menggunakan hasil pungutan pajak
untuk kepentingan dan kekayaannya
sendiri Akibat dari tekanan ini, sering
kali terjadi pertikaian antara para
petani dengan pejabatpejabat lokal.
Tidak jarang pertikaian tersebut
berujung pada tindak penyiksaan
dan pembantaian.
Kejadian seperti di atas bukan hal
baru di China. Salah satu kisah
penyiksaan itu terjadi di desa Zhang,
Provinsi Anhui. Kejadian ini bermula
ketika Deputi Kepala di desa tersebut
mulai bosan dan kian geram dengan
para petani yang selalu mengadukan
perbuatannya menyalahgunakan
dana warga.
Ketika kekesalan sang Deputi Kepala
memuncak,diajaknya petugas
keamanan dan anakanaknya untuk
mengunjungi salah seorang warga
desa bernama Zhang Guiyo. Zhang
Guiyo adalah warga desa yang
sering menyarangkan tuduhan
masalah keuangan desa Kepala
Deputi. Namun kunjungan itu
bukanlah kunjungan biasa,
melainkan bertujuan untuk
menganiaya Zhang Guiyo.
Menyikapi hal ini warga desa pun
bereaksi.Mereka mengadukan
perbuatan Deputi Kepala tersebut
kepada Kepala Partai di tingkat
desa.Hasilnya,aparat partai di tingkat
kecamatan menginstruksikan audit
umum yang menyangkut keuangan
di seluruh desa. Hal ini tentu saja
membuat Deputi Kepala meradang.
Bersama anaknya ia kembali
menyambangi rumah Zhang Guiyo.
Kericuhan kembali terjadi di rumah
ini. Buntutnya, dalam hitungan
menit, empat orang tewas di tangan
Kepala Deputi dan komplotannya.
Kejadian ini membuktikan
bagaimana arogansi kekuasaan dan
korupsi masih menjangkiti banyak
pejabat lokal di China.
Hal seperti di atas terjadi di hampir
seluruh wilayah pertanian di China.
Tanah pertanian yang harusnya
memberikan penghidupan bagi para
petani akhirnya menjadi beban bagi
mereka sendiri, terutama karena
pajak. Hal semacam inilah yang
kemudian mendorong para petani
China untuk bergerak menuju kota
dan menjadi ”migran kota”.
Jumlah migran kota ini sangat
besar.Pada tahun 2005 saja di
Shanghai terdapat 1, 25 juta migran
dari Anhui. Belum lagi dari provinsi-
provinsi lainnya. Di kota mereka
melakukan pekerjaan yang justru
ditampik oleh penduduk
lokal.Namun karena kerja keras
yang luar biasa, banyak dari migran
ini yang berhasil menduduki jabatan
manajerial dan membawahi
pekerja-pekerja lokal.
Eksklusi Sosial
Sayangnya, nasib migran kota tidak
seindah kedengarannya Ada
beberapa masalah yang
dikemukakan penulis buku ini. Salah
satunya adalah eksklusi sosial yang
dikenakan oleh pemerintah kota.
Kendati pun para migran ini telah
memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan ekonomi, namun
pemerintah kota tidak akan pernah
memberikan status permanen di
kota.
Akibatnya, mereka tidak akan
mendapatkan asuransi kesehatan,
keuntungan perumahan yang
diperoleh warga kota lain.
Perlakukan diskriminatif ini tentu
sangat merugikan para migran kota.
Tampak di sini adanya sebuah garis
pembatas yang jelas antara
penduduk kota dan para migran
kota.
Pembatasan ini juga sekaligus
membatasi migran kota dalam soal
status, kesempatan, pendapatan,
populasi, dan pemberian izin kerja.
Sayangnya wewenang pembatasan
ini diserahkan kepada badan-badan
keamanan umum. Konsekuensinya,
migran kota diperlakukan sebagai
penjahat yang potensial. Hal ini
menciptakan kesenjangan antara
penduduk lokal dengan kaum
migran.
Tentu saja stabilitas sosial menjadi
terancam. Masalah berikutnya
adalah menurunnya jumlah sumber
daya manusia di desa. Hal ini
disebabkan migrasi masyarakat
desa ke kota.Akibatnya, investasi di
desa menjadi berkurang. Ekonomi
di pedesaan pun akan terkena
imbasnya.
Dari tahun 1985 hingga tahun 1994
misalnya, tercatat 300 miliar yuan
tersedot dari desa ke kota. Ini artinya
desa perlahan-lahan tengah
kehilangan potensinya dan
kemiskinan mulai membayang di
ambang pintu. Solusi dari persoalan
terakhir ini, menurut buku ini, adalah
mengembalikan potensi para petani.
Du Runsheng, salah satu pakar
ekonomi yang pernah menduduki
posisi penting di partai dan
pemerintahan China berpendapat,
penting untuk menciptakan sebuah
sistem maupun lingkungan yang
menguntungkan dan dapat
memotivasi para petani.
Misalnya saja mengundang-
undangkan hak penggunaan tanah
untuk para petani, termasuk di
dalamnya hak mengontrak, hak
mengelola, hak memakai, hingga
hak untuk menggunakannya
sebagai jaminan (halaman 337).
Buku yang pernah dilarang terbit di
China ini menunjukkan bahwa di
balik kemajuan China terdapat begitu
banyak persoalan, mulai dari
persoalan sosiologis, pembangunan
sosial,hingga ekonomi.
Dari sini pembacanya bisa belajar
bahwa pembangunan bukanlah hal
yang mudah. Karena itulah,
pembangunan menuntut
kesungguhan berbagai pihak. Disain
pembangunan pun tidak dapat
diserahkan begitu saja pada
teknokrat atau ekonom, tetapi
partisipasi masyarakat itu sendiri.
Pembangunan juga bukan melulu
persoalan pertumbuhan ekonomi
dan perkembangan industri yang
melaju pesat, tetapi juga
pembangunan yang berorientasi
pada manusia.(*)