Menyusuri LorongKenangan Ajip Rosidi

19 Agustus 2009

Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang
Terekam dalam Kenangan
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tebal : 1330 halaman
Cetakan : Januari 2008
Ajip Rosidi memang tokoh luar
biasa. Ia bukan orang baru dalam
jagat sastra Indonesia. Pemikirannya
telah memberikan sumbangan yang
sangat berharga bagi sastra dan
kebudayaan Indonesia. Namun
siapa sangka, guru besar tamu pada
Osaka Gaikokugo Daigaku
(Universitas Bahasa Asing), Jepang,
ini bahkan tidak memiliki ijazah
sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang
disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam
buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di
dalam buku ini Ajip mengisahkan,
alasan mengapa ia tidak memiliki
ijazah sekolah menengah.
Kejadiannya bermula ketika ujian
nasional sekolah menengah ditahun
1956, dikabarkan sering mengalami
kebocoran soal. Banyak orang yang
dapat memperoleh soal ujian
sebelum waktu ujian tiba. Tentu
saja, caranya dengan menyogok
guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi
memilih untuk tidak mengikuti ujian
sekolah menengah. Baginya, hidup
tidak harus digantungkan pada
secarik kertas bernama ijazah.
Prestasi kerja, kemampuan dan
pengakuan masyarakat terhadap
seseoranglah yang dapat
menentukan seseorang dapat
bekerja atau tidak.
Oleh karena itu, Ajip yang saat itu
sudah memperoleh pengalaman
mengajar dan menulis sastra,
merasa tidak memerlukan ijazah
lagi. Ia ingin membuktikan bahwa
seseorang dapat hidup tanpa ijazah.
Keinginannya tersebut ia kemukakan
kepada kepala sekolahnya.
Dari sisi yang lain, Ajip dapat
digolongkan sebagai seseorang
yang berani untuk mengungkapkan
gagasan dan opininya mengenai
sesuatu. Ia selalu bicara langsung
pada inti persoalan, tanpa ditutup-
tutupi, jika ada hal yang ingin
disampikan. Ia bahkan seperti tidak
memedulikan siapa orang yang
sedang diajaknya bicara. Apalagi
kalau dirinya yakin apa yang
dikemukakannya adalah sesuatu
yang benar.
Misalnya saja ketika ia
mengungkapkan ketidaksetujuannya
perihal roman psikologis yang
disampaikan oleh guru Kesusateraan
Indonesia di sekolah menangah.
Ketika itu Ajip mengemukakan
argumentasinya. Namun belum
selesai ia bicara, guru tersebut
membentak dan menyuruhnya
keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip
tidak menceritakan kelanjutan
peristiwa tersebut. Apakah ia benar-
benar keluar dari kelas, atau tetap
berada di dalam kelas dan
mempertahankan argumentasinya.
Keberanian Ajip tersebut terus
terbawa saat ia berkiprah sebagai
satrawan. Misalnya saja ketika ia
menuliskan karangannya di
Sipatahaoenan. Ketika karangan
tersebut dimuat, reaksi yang
muncul sungguh di luar dugaan.
Kala itu ia mendapat serangan dari
banyak sastrawan Sunda. Namun
semua itu ditanggapinya dengan
nada mengolok-olok. Tujuan Ajip
tentu bukan sekadar mengolok-olok,
tetapi ia ingin ada geliat baru dalam
kesusatraan Sunda.
Nada serupa juga terlihat ketika Ajip
menanggapi rencana rektor
Universitas Padjadjaran untuk
memberikan gelar penghormatan.
Namun hingga melewati batas
waktu yang direncanakan, tidak juga
ada kejelasan soal pemberian gelar
kehormatan tersebut. Akhirnya,
pidato yang dipersiapkan untuk
menerima gelar kehormatan itu
dimasukkan ke dalam buku yang
diterbitkan untuk menyambut 70
Tahun Romo dick Hartoko yang
sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut,
Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia
tidak memerlukan gelar
penghargaan. Selama ini ia sudah
hidup cukup baik tanpa gelar apa
pun. Ketika temannya meminta Ajip
untuk menelusuri surat rahasia dari
Menteri Pendidikan kepada Dirjen
Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan
dengan tegas. Ia mengatakan,
dirinya tidak membutuhkan gelar
itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak
banyak artinya. Gelar kehormatan
itu tidak akan menaikkan gajinya di
Jepang, dan tidak akan membuatnya
lebih terkenal.
Salah satu gagasan penting Ajip
Rosidi dalam kesusasteraan adalah
pemberian penghargaan Rancage.
Hadiah ini diberikan khusus kepada
karya-karya sastra berbahasa
daerah. Pada awalanya
penghargaan tersebut hanya
diberikan kepada karya sastra
Sunda. Namun pada
perkembangannya, hadiah Rancage
tidak hanya diberikan kepada sastra
berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa
daerah lainnya seperti Sastra Jawa
dan Sastra Bali.
Ajip mejelaskan, pemberian hadiah
Rancage adalah semata-mata untuk
menunjukkan bahwa kerja keras
para penulis sastra daerah
mendapat perhatian yang layak, dan
dihargai. Kata Rancage sendiri
diambil dari carita pantun yang
berarti aktif-kreatif.
Di samping gagasan dalam sastra
dan kebudayaan, hal yang juga
menarik dari buku ini adalah
penggalan-penggalan cerita dari
sejumlah orang yang pernah
berinterkasi dengan Ajip. Mereka
bisa keluarga, kerabat, satrawan,
pejabat atau tokoh politik yang
pernah bertemu dengannya. Dari
sinilah pembaca dapat mengetahui
kisah-kisah yang bersifat human
interest dari tokoh tersebut.
Salah satu orang dikisahkan oleh
Ajip adalah Pramoedya Ananta
Toer. Dalam buku ini Ajip
memaparkan bahwa Pramoedya
adalah orang yang sangat
egosentris. Buktinya Pramoedya
mengajak istrinya untuk tidak tinggal
bersama mertuanya. Meskipun
mertuanya adalah orang kaya yang
memiliki banyak rumah, namun
Pramoedya memilih untuk tinggal di
rumah petak beralas tanah di
kawasan Rawamangun, Jakarta,
bersama istrinya. Padahal, menurut
Ajip, mungkin baru saat itulah
Maemunah, istri Pramoedya, untuk
pertama kalinya tinggal di rumah
beralas tanah.
Masih kisah di seputar Pramoedya,
Ajip menceritakan bagaimana di
masa Pram mengalami krisis
keuangan, ia mendapat order untuk
menerjemahkan karya utama
Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip,
tidak mengherankan jika Pramoedya
sampai beranggapan bahwa orang
yang membantunya ketika
mengalami kesulitan adalah orang
kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah
majalah tidak mau lagi memuat
tulisan-tulisannya, dan beberapa
penerbit mengembalikan hak
penerbitannya serta berhenti
mencetak buku-buku Pram.Buku
Hidp Tanpa Ijazah ini memang
menarik untuk dibaca. Gaya bertutur
Ajip yang khas, tulisan yang enak
dibaca, dan isi yang kaya, membuat
pembaca tidak bosan untuk
membaca buku ini hingga akhir,
seperti menyusuri lorong kenangan
yang sarat dengan kisah dan cerita
hidup. ****