Absurditas ManusiaJakarta

19 Oktober 2009

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi,
mulai dari hal yang masuk akal,
sampai hal-hal yang membalik-
balikan logika. Hal inilah yang
kemudian menjadi ciri manusia
Jakarta atau yang dalam buku ini
diistilahkan sebagai Homo
Jakartensis.
Secara umum manusia Jakarta
memang tidak beda dengan
manusia yang hidup di kota-kota
lain. Jika manusia Jakarta minum
kopi, manusia di Wonosari juga
tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika
manusia Jakarta mandi memakai
sabun, toh manusia di Ciranjang
pun mandi memakai sabun.
Namun yang membedakan
manusia Jakarta dengan manusia di
kota lain adalah cara dalam
memaknai kegiatan fungsional tadi,
ngopi misalnya. Bagi manusia
Jakarta, minum kopi tidak sekadar
menyeruput minuman berwarna
hitam kecoklatan itu, tetapi di sana
juga terdapat selera, cara memilih
dan jugasoal citra
Salah satu contoh yang
dikedepankan oleh Seno untuk
menandai fenomena ini adalah hal
makan. Makan bukan sekadar
makan enak sesuai selera dan
sekaligus mengenyangkan, tetapi
juga memiliki makna simbolik.
Makan di warung tenda yang
menyajikan masakan Sunda, jelas
berbeda dengan makan di restoran
Dapur Sunda yang ber-AC dengan
pelayan-pelayan yang ramah.
Akibatnya, kalau mau pamer,
mengajak seluruh keluarga untuk
pesta makan, siapkanlah uang
sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau
ingin makan dengan selera sendiri,
meskipun masih memakai dasi,
berpanas-panas di warung tenda
pun jadi.
Kemudian soal mobil. Mobil ternyata
tidak melulu alat transportasi,
namun juga merupakan prestise,
sebuah identitas bagi pemiliknya.
Kehormatan pun diterjemahkan
pada simbol mobil tersebut. Tidak
heran jika bemper mobil tersebut
lecet atau penyok karena
terserempet, maka seakan-akan ikut
lecet dan penyok pula harga diri dan
kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni
untuk menahan agar benturan dari
mobil lain tidak langsung mengenai
body mobil. Bukankah sebaiknya
bemper yang penyok dari pada
body mobil yang penyok.
Dari beberapa contoh peristiwa di
atas tampak bagaimana citra, nilai
dan gaya menjadi hal yang penting
bagi manusia Jakarta. Uniknya
proses ini terus menerus berputar
selama manusia Jakarta itu ada.
Dengan citra dan gaya inilah
berbagai persoalan dapat
diselesaikan dengan mudah.
Dalam dunia bisnis misalnya,
memperlihatan citra bonifide
perusahaan menjadi elemen yang
sangat penting. Tidak heran jika
sebuah kantor dengan sengaja
membeli lukisan berharga ratusan
juta rupiah untuk dipasang di lobby
kantor agar timbul kesan direktur
perusahan tersebut adalah orang
yang tahu banyak soal seni.
Di dalam buku ini Seno memang
seolah ingin menelanjangi manusia-
manusia Jakarta. Ia seperti ingin
menunjukkan di balik penampilan
manusia Jakarta yang bekesan
megah, mewah, dan gemerlap
justru terdapat kekacauan,
keanehan, dan disoreintasi yang
kronis.
Kumpulan kolom ini adalah
mengenai absurditas manusia
Jakarta. Apakah absurditas ini adalah
sesuatu yang salah atau keliru? Seno
tidak secara terang-terangan
mengatakannya, namun paling tidak
ia mengajak pembaca untuk melihat
sebuah gejala sosiologis yang terjadi
pada manusia Jakarta.***