Catatan-catatan Kritis Wartawan Tiga Zaman

19 Oktober 2009

Judul: Semua Berawal dengan
Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan
Anwar
Penulis: Rosihan Anwar
Tebal: xx + 515 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: Mei 2007
Setiap penulis kolom memiliki gaya
penulisan yang khas. Ada penulis
yang menyajikan tulisan secara
“ berat”, sebut saja seperti
Goenawan Mohammad, ada yang
bergaya ceplas-ceplos seperti Harry
Roesli, ada juga yang bergaya segar
dan jenaka seperti Mahbub Djunaidi.
Setiap gaya tulisan boleh-boleh saja
beda. Namun jika diamati, ada
kesamaan di antara penulis-penulis
tersebut. Kesamaan itu adalah,
semua penulis tersebut sangat kaya
dengan pengalaman, memiliki
pengetahuan yang luas, serta
kejelian dalam menangkap
persoalan yang ada di sekitarnya.
Begitu pula dengan Rosihan Anwar.
Ia adalah seorang penulis yang
memiliki ciri-ciri seperti di atas.
Rosihan Anwar adalah penulis yang
kaya dengan berbagai pengetahuan,
mulai dari pengetahuan sejarah,
sastra, kebudayaan, filsafat, hingga
politik. Seperti diungkapkan oleh
Julius Pour dalam pengantar buku
ini, semua pengetahuan itu
membuat Rosihan Anwar dapat
berpikir secara runtut dan memakai
bahasa yang jernih.
Ditambah lagi, profesinya sebagai
wartawan memungkinkannya
mempunyai banyak kesempatan
untuk bertemu dan berinteraksi
dengan orang dari berbagai
kalangan, mulai dari rakyat kecil,
pejabat, tokoh-tokoh berpengaruh,
sampai pesohor. Di sisi lain ia juga
berkesempatan menjadi saksi
langsung berbagai peristiwa
penting.
Hal-hal itulah yang membuat
tulisan-tulisan Rosihan Anwar
menjadi lebih kaya, penuh warna,
dan tampak penguasannya terhadap
kompleksitas persoalan dan
kemajemukan setiap permasalahan.
Tidak heran jika pembaca merasa
betah berlama-lama membaca
tulisannya. Padahal bukan tidak
mungkin persoalan yang
disampaikan dalam tulisannya
adalah masalah yang cukup serius.
Begitu pula tulisan-tulisannya dalam
buku Semua Berawal dengan
Keteladanan.
Semua Berawal dengan Keteladanan
adalah kumpulan kolom Rosihan
Anwar yang muncul di tabloid Cek
& Ricek. Nama kolom tersebut
adalah Halo Selebritis. Seperti
lazimnya tabloid hiburan, Cek &
Ricek pun berisi berbagai berita
seputar selebritis dan dunia hiburan.
Namun begitu, tabloid ini masih
menyisakan ruang untuk diisi oleh
tulisan-tulisan yang memberikan
pengayaan kepada pembacanya,
itulah kolom Rosihan Anwar. Tidak
mengherankan jika kolom ini adalah
salah satu tulisan yang selalu
ditunggu pembacanya setiap
minggu.
Membaca buku ini yang diterbitkan
untuk memperingati 85 tahun
Rosihan Anwar dan 60 tahun usia
perkawinannya dengan Siti Zuraida
Sanawi ini, kita dapat melihat
bagaimana wartawan tiga jaman itu
memandang berbagai persoalan
yang ada di masyarakat, mulai dari
persoalan kebudayaan, sosial, pers,
politik sampai ekonomi. Cara
pandang Rosihan Anwar itu sangat
beragam, ia dapat saja
mengacungkan jempol, geleng-
geleng kepala, mengritik pedas,
bersikap sinis atau pun mengejek.
Kesemuanya disampaikan secara
terbuka atau blak-blakan.
Ketika Polri berhasil menangkap
Imam Samudra dan Amrozi
tersangka peristiwa pemboman di
Bali misalnya, Rosihan Anwar secara
terbuka memuji prestasi tersebut.
Namun, ketika ia menilai para
selebriti, entah pelawak ataupun
penyanyi rock, yang tiba-tiba di
bulan Ramadhan sering muncul
membawakan acara agama di
malam atau subuh hari, ia seperti
menyimpan tanda tanya. Bahkan
Rosihan Anwar mempertanyakan,
apakah kalau sudah menjadi terkenal
seseorang bisa begitu saja dipakai
dalam acara dakwah? (hal. 209).
Menariknya, Rosihan pun tidak
pernah pandang bulu dalam
melancarkan kritik. Pejabat, birokrat
atau pun artis, bisa saja dikritiknya
terang-terang. Bahkan presiden pun
tidak lepas dari sasaran kritiknya,
misalnya saja secara terang-
terangan ia mengatakan bahwa
dalam hal KKN, Gus Dur sudah sami
mawon dengan mantan Presiden
Soeharto (hal. 35). Begitu pula ketika
ia berkali-kali mengritik Presiden
Megawati.
Kolom-kolom Rosihan Anwar pun
menjadi lebih menarik untuk dibaca
karena banyak sekali “sejarah kecil”
yang disisipkan dalam kolom-kolom
ini. Meskipun dikatakan “sejarah
kecil” namun hal tersebut justru
memperkaya tulisan sejarah yang
ada. Misalnya dalam tulisan yang
berjudul Dewi Rais Punya Cerita,
Pertanyaan Bisa Bikin Ibu Mega
Sebel, Rosihan menulis bagaimana
Presiden Soekarno marah kepada
Dewi Rais, istri Letjen (Purn.) Rais
Rabin. Ketika itu Dewi Rais dan
pengurus PWI yang diketuai
Mahbub Djunaidi (almarhum)
berkunjung ke Istana Bogor.
Sesampainya di sana Presiden
Soekarno menyalami semua tamu
yang datang. Namun yang
menggelikan ia ngambek dan tidak
mau bersalaman dengan Dewi Rais.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno
komplain kepada Kolonel Hidayat
(kala itu masih berpangkat kolonel),
ayah Dewi Rais, yang menjabat
Panglima Tinggi TNI di Sumatera
pada masa clash ke dua dan PDRI
(Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia). Kala itu, seperti dikutip
Rosihan Anwar, Presiden Soekarno
berkata “ Zeg, suruh jouw dochter
itu jangan tulis yang bodoh-bodoh.”
Kemarahan Soekarno ternyata
dipicu oleh tulisan Dewi Rais dalam
surat kabar Api Pancasila yang
mengritik ucapan Presiden Soekarno
seputar Gestapu. Waktu itu
Soekarno mengatakan bahwa
peristiwa Gestapu merupakan
druppeltje in de ocean (sebuah riak
kecil dalam lautan samudera).
“Sejarah kecil” seperti itulah yang
sebenarnya dapat membuat sejarah
lebih hidup dan tidak kering,
sehingga lebih menarik minat orang
untuk membaca. Oleh karena itulah
Rosihan juga pernah menerbitkan
buku Sejarah Kecil (Petite Histoire)
Indonesia (2004).
Pendek kata kolom-kolom Rosihan
Anwar tidak hanya sebuah
komentar kritis terhadap persoalan
yang terjadi setiap waktu, tetapi juga
sebuah catatan kritis yang diracik
sedemikian rupa sehingga “sedap”
untuk dinikmati.***