Catatan KompleksitasSoe Hok-Gie

19 Oktober 2009

Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Soe Hok Gie adalah ikon gerakan
mahasiswa. Ia telah menjadi
inspirasi bagi banyak aktivis kampus
di era tahun 1980-an hingga 1990-
an. Bahkan catatan hariannya yang
dibukukan dalam Catatan Seorang
Demonstran, menjadi semacam
bacaan wajib bagi peminat ataupun
simpatisan dunia pergerakan.
Dari buku tersebut dapat dilihat
bagaimana Hok-Gie merespon
realitas. Jejak kegelisahan, semangat,
perenungan, sikap maupun
idealismenya dapat dilihat dari buku
tersebut. Buku tersebut seolah
menjadi representasi dunia batin
adik kandung budayawan Arief
Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari
Hok-Gie memang sulit untuk dilacak.
Rasanya belum ada literatur yang
mengungkap sisi ini. Padahal hal ini
boleh jadi sisi yang "misterius" dari
Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara
ia bergaul dengan karib serta
koleganya, bagaimana cara ia
menangani permasalahan di
lapangan, ataupun bagaimana
hubungannya dengan beberapa
teman dekat wanitanya.
Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali
Lagi, tampaknya mulai membuka
sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya
perlahan mulai terungkap meskipun
tidak bisa secara utuh mengurai
kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari
beberapa sahabat dekat, rekan
pencinta alam yang tergabung
dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta
Alam) Universitas Indonesia,
budayawan, peneliti, sineas,
maupun aktor. Dari tulisan-tulisan
inilah dapat diketahui mozaik lain
dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah
Rudy Badil, salah seorang anggota
Mapala UI yang ikut serta dalam
pendakian ke Semeru pada
pertengahan bulan Desember 1969.
Di bagian awal inilah Rudy
menceritakan apa yang dialaminya
pada hari-hari saat-saat terakhir
bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal
karena memang kisah inilah yang
paling tragis dari Hok-Gie. Di bagian
ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy
Badil bersama Hok-Gie. Dikisahkan
bagaimana ia sempat melihat Hok-
Gie yang masih bertahan di puncak
Semeru sementara pendaki lain
sudah turun karena cuaca saat itu
dianggap mulai tidak bersahabat.
Namun tidak lama setelah itu Rudy
Badil diberitahu oleh pendaki lain
bahwa Hok-Gie dan Idhan Lubis
mengalami kecelakaan. Belakangan
diketahui kematiannya itu
disebabkan oleh gas beracun yang
keluar dari kawah Semeru, gunung
berapi yang masih aktif.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya
proses evakuasi kedua jenazah
tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya
menjangkau lokasi karena medan
yang cukup berat. Namun, dengan
bantuan penduduk setempat, kedua
jenazah dapat diturunkan.
Dari sejumlah tulisan lain dalam
buku ini, terungkap pula bahwa
Hok-Gie adalah sosok idealis yang
seakan tidak pernah takut kepada
siapa pun selama ia yakin dengan
sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan
dengan penguasa jika memang
penguasa tersebut berbuat sesuatu
yang dianggapnya mencederai rasa
keadilan.
Tidak heran jika kritik mapun protes
keras acap kali ia sampaikan kepada
penguasa, terutama lewat tulisan-
tulisannya di berbagai media massa.
Hasilnya, Hok-Gie memang
dianggap orang yang
berseberangan dengan penguasa.
Termasuk ketika Hok-Gie terang-
terangan melawan Presiden
Soekarno yang dianggap memberi
ruang terlalu berlebihan untuk Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Menariknya, meskipun Hok-Gie
adalah seorang anti-komunis--
ditandai dengan dengan terjun
langsungnya ia ke arena perlawanan
terhadap komunisme--tetapi dia
tetap protes ketika terjadi
pembantaian massal terhadap
orang-orang yang dianggap
memiliki hubungan dengan PKI
tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner
Komnas HAM Republik Indonesia
yang menyumbangkan tulisan
dalam buku ini, mengutip tulisan
Hok-Gie untuk memperlihatkan
sikap Hok-Gie, terhadap masalah
pembantaian tersebut. Hok-Gie
dalam dalam majalah Mahasiswa
Indonesia edisi Jawa Barat menulis,
ketika pembunuhan dilangsungkan,
para tawanan sering minta untuk
segera dibunuh saja. Alasannya,
mereka telah mengetahui
bagaimana hidup mereka akan
berakhir. Hal itu dilakukan karena
mereka takut menghadapi siksaan
atau cara pembunuhan mengerikan
yang dilakukan oleh manusia yang
menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal.
349).
Hok-Gie memang sinis dengan
ketidakadilan maupun kemunafikan.
Ia tidak segan melakukan serangan
terhadap realitas seperti itu. Untuk
soal ini sikapnya hanya hitam-putih,
tidak ada wilayah abu-abu. Dalam
pandangannya, setiap kekeliruan
harus diluruskan, meskipun itu
dilakukan seorang pejabat yang
memiliki otoritas.
Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat
mengakar, hingga menyentuh
persoalan agama. Dalam hal ini Hok-
Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia
yang mengaku mengalami "krisis
kepercayan", menolak pendapat dari
otoritas pemuka agama yang
menyatakan bahwa agama yang
mereka anut adalah satu-satunya
agama yang akan mengantarkan
manusia ke surga. Bagi Hok-Gie
gagasan ini terlalu berlebihan.
Baginya agama haruslah membawa
pembebasan, dan bukan menjadi
alat masyarakat untuk mencapai
kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik
lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu
berikap kritis dan tegas terhadap apa
yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-
Gie adalah anak muda dengan
dinamikanya sendiri, entah itu dalam
pergaulan, komunitas hobi,
kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie
dikenal akrab dan terbuka dengan
sejumlah kawan. Pembicaraan
mereka pun sangat khas anak
muda, termasuk subjek atau
pembicaraan yang dianggap
"menyerempet bawah perut"--
begitu istilah Kartini Syahrir dalam
buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang
ingin diungkap dalam buku inilah
adalah kesepian yang dialaminya. Di
tengah kegiatannya yang nyaris
seakan tidak ada jeda, mulai dari
menggalang massa mahasiswa
turun ke jalanan, hingga naik
gunung bersama pecinta alam
lainnya, Hok-Gie adalah potret
manusia yang dilanda sepi.
Keironisan itulah yang ditangkap
oleh Aris Santoso dalam buku ini.
Inilah kesepian yang harus diterima
Hok-Gie sebagai konsekuensi dari
pilihan idealisme, keteguhan hati,
dan kesetiaan kepada kebenaran.
Jelaslah, buku ini bukan sebuah
usaha untuk mengultuskan sosok
Hok-Gie. Sebaliknya buku ini
mencoba untuk memperlihatkan
sosok Hok-Gie apa adanya, dari
sudut pandang orang-orang yang
mengagumi dan mencintainya.
Buku ini sebenarnya dapat lebih
kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie
hasil korespondensinya dengan
sejumlah orang dapat dimuat.
Bukankah ia disebut-sebut
berkorespondesi dengan Ben
Anderson, Daniel S Lev, David R
Looker, Syharir, sampai
Onghokham. Tentu saja hal ini perlu
usaha yang lebih rumit untuk
mengumpulkan kembali surat-surat
yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe
Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat
memberikan sebuah penggalan lain
kisah seorang Hok-Gie. Kita pun
diingatkan kembali bukan hanya
kepada keberaniannya, tetapi juga
persoalan bangsa Indonesia yang
membutuhkan politisi serta
pemimpin yang peduli, peka dan
siap bekerja untuk kemajuan
bangsanya tanpa pamrih.***