Membuka SelubungDominasi

19 Februari 2010

Judul: Dominasi Penuh Muslihat,
Akar Kekerasan dan Diskrimnasi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xv + 294 halaman
Harga: Rp. 65.000
Selalu ada kekuasaan di balik realitas
yang melingkupi sebuah
masyarakat. Sistem kemasyarakatan
hingga keketatan sebuah ideologi,
selalu dikonstruksi oleh "kekuasaan"
tertentu. "Kekuasaan" itulah yang
disebut sebagai dominasi.
Pada bagian awal buku yang ditulis
oleh Haryatmoko ini, disampaikan
sejumlah gagasan yang dapat
membantu pembaca untuk mulai
menyadari bagaimana banyak segi
dalam kehidupan telah dimistifikasi
oleh kekuatan tertentu.
Gagasan-gagasan tersebut berasal
dari para pemikir seperti Pierre
Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen
Habermas, Michel Foucault, hingga
Jacques Derrida, yang terkenal selalu
"menaruh curiga" atas kebenaran-
kebenaran yang sudah terlanjur
diterima secara umum.
Michel Foucault misalnya,
mempertanyakan dominasi yang
menciptakan makna tunggal atas
seks. Foucault yang memunculkan
gagasan arkeologi pengetahuan (the
archeology of knowledge), yakin
bahwa ada kepentingan di balik
sebuah pengetahuan dalam
masyarakat.
Hal yang sama juga terdapat dalam
pemkiran Jurgen Habermas, salah
seorang pemikiran aliran kritis
Mazhab Frankfurt. Pemikiran
Habermas, demikian ditulis
Haryatmoko, ingin membebaskan
manusia dari rasionalitas
intrumental, yang kental dengan
logika dan formalisme dalam
menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat
ada sejumlah dominasi utama yang
kerap menjadi akar kekerasan dalam
masyarakat, yakni dominasi agama,
dominasi wacana, dan dominasi
uang yang mengarah kepada
konsumerisme.
Menurut Haryatmoko, dengan
mengutip Nelson Pallmeyer,
dominasi agama kerap memicu
kekerasan. Kekerasan relijius tidak
hanya persoalan distorsi penafsiran
teks, tetapi mengakar pada
anggapan bahwa Tuhan pun berhak
melakukan pembalasan ataupun
kekerasan sebagai bagian dari
kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana.
Menurut Haryatmoko, dominasi
wacana adalah hal yang paling sulit
diatasi, terutama menyangkut
kekerasan simbolik. Dominasi ini
beroperasi pada tataran bahasa, cara
kerja, dan cara bertindak (hal. 128).
Selain itu, dampak dominasi wacana
cenderung halus dan tidak terasa.
Parahnya, dominasi ini diakui dan
diterima oleh si korban. Contoh jelas
dominasi wacana adalah, posisi
subordinasi perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam
masyarakat kontemporer adalah
uang. Dalam masyarakat
kontemporer, uang menjadi ukuran
untuk menentukan berbagai hal.
Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan
kebutuhan, melainkan tanda.
Di sini, konsumen membeli barang
bukan karena manfaat, tetapi dalam
kaitan pemaknaan seluruh obyek
(hal. 227). Bahkan konsumsi bukan
lagi untuk memenuhi kebutuhan
dasar, tetapi karena tekanan
psikologis dan sosial.
Buku ini menarik karena dengan
memahami isinya, pembaca dapat
menjadi lebih kritis untuk melihat
dominasi di balik sistem tertentu,
yang dengannya makna kebenaran
tidak lagi tunggal.
Seperti lazimnya membaca buku-
buku beraroma filsafat yang kuat,
untuk memahami buku ini,
pembaca harus mau membuka
cakrawala pemikiran secara lebih
luas, dan memiliki usaha lebih untuk
memahami setiap terminologi serta
ide kunci yang dituangkan di
dalamnya.***
(Dimuat di Koran Jakarta edisi 14 Juli
2010)
DIPOSKAN OLEH NIGAR
PANDRIANTO DI 23.22