Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai
Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007
Siapa tidak mengenal Emha Ainun
Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif
dalam menulis. Tulisannya ada yang
berupa puisi, cerita pendek, kolom,
hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu
berbagai persoalan dibedahnya,
mulai dari soal politik, sosial
kemasyarakatan, sastra,
kebudayaan, kebangsaan, sampai
agama. Itu pula yang dilakukannya
lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai
Untung, Kiai Hoki ini.
Di dalam kumpulan esai ini Emha
mengungkapkan berbagai persoalan
yang ada di dalam masyarakat. Ia
yakin begitu banyak masalah dalam
masyarakat yang nyata-nyata
menuntut penyelesaian. Dalam
pandangannya, jika persoalan itu
tidak mendapatkan perhatian dari
berbagai pihak, keterpurukan dan
krisis bangsa Indonesia tidak akan
pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha
bukan sekadar sebuah gejala, tetapi
telah menjadi potret buram yang
terjadi dalam waktu lama.
Buntutnya, diperlukan perubahan
yang radikal agar bangsa Indonesia
bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik
kritik Emha yang tertuang dalam
tulisannya.
Dalam kumpulan esai ini, Emha
tampak mencoba menyodorkan
realitas ke depan pembacanya. Ia
mencoba menghadirkan kenyataan
tersebut langsung ke pusat
kesadaran pembacanya. Tidak
mengherankan jika pembaca
sesekali akan berhenti membaca
untuk memberikan ruang
kontemplasi, dan merenungkan apa
yang sedang dibacanya. Hal ini
dilakukan misalnya dengan
melontarkan pertanyaan-pertanyan
retorik. Di sinilah salah satu
kelebihan esai-esai yang ditulis oleh
Emha.
Di samping itu, Emha kerap
menggunakan idiom-idom yang
diambil dari Al Quran sehingga
nafas Islami dari sejumah esainya
dapat dirasakan. Menariknya,
meskipun begitu, esai-esai tersebut
tetap kontekstual dengan
keindonesiaan dan tidak menjadi
tulisan-tulisan agama, walaupun
nilai-nilai religius tetap mengalir di
dalamnya. Inilah yang membuat
tulisan-tulisan Emha tetap dapat
“dinikmati” oleh berbagai kalangan,
bahkan lintas pemeluk agama.
Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas
memberikan sebuah solusi untuk
problem-problem yang tengah
dibahas. Tetapi justru ia mengajak
pembaca untuk secara perlahan
menyelami akar masalah dari
persoalan yang ada. Di sini pembaca
seakan diajak untuk melihat setiap
permasalah secara komprehensif,
mengakar, terbuka terhadap
berbagai kemungkinan, bersikap
tidak asal tuduh, dan selalu
mempertimbangkan dimensi-
dimensi yang mengitarinya
(pluridimensional).
Hal di atas tampak misalnya ketika
Emha berbicara soal terorisme yang
memunculkan stereotip di kalangan
atau kelompok masyarakat tertentu.
Dalam tulisan ini diceritakan
bagaimana Emha harus menjawab
pertanyaan yang diajukan seputar
terorisme dan pesantren. Menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan
pesantren, dengan nada
menyejukkan Emha
mengungkapkan bahwa orang-
orang dari pesantren adalah kaum
yang termarjinalkan. Lulusan
pesantren sebagian besar menjadi
kaum yang terlempar dari arus
jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan
oleh banyak kalangan,
keterpinggiran tersebut disertai
dendam di punggung mereka dan
sewaktu-waktu bisa berubah
menjadi ledakan api.
Harus diakui memang, tulisan-
tulisan lelaki yang akrab dipanggil
Cak Nun ini bukanlah tulisan yang
dapat seketika dipahami. Namun
diperlukan kearifan, kecermatan
serta ketelitian dalam membacanya.
Maklum saja, tulisan-tulisannya
bukanlah berita sensasional tabloid
hiburan yang dapat dinikmati secara
instan.
Menyerahkan kepada pembaca
Emha sendiri di dalam esai-esainya
tidak mencoba menggurui. Ia juga
tidak tiba-tiba menjadi orang yang
“ maha tahu” dan mempunyai
kapasitas untuk memberikan nilai
pada sebuah keadaan, melainkan
mencoba membahasakan realitas ke
hadapan pembaca. Mengenai
penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan
kepada pembaca.
Di dalam esai-esainya, Emha sering
mengajak pembaca melihat realitas
dengan cara tidak langsung. Ia
seringkali masuk ke dalam persoalan
lewat peristiwa tertentu atau bahkan
cerita tertentu. Dari situ
spektrumnya meluas dan
menyusup ke hal-hal yang
mendasar dan substansial.
Ketika Emha memperbincangkan
soal goyang Inul Daratista misalnya,
ia tidak hanya berhenti pada
kontroversi goyang yang sempat
menghebohkan itu, tetapi juga ia
ingin menunjukkan
ketidakkonsistenan masyarakat
dalam menghadapi sebuah gejala.
Hal ini, menurut Emha, adalah
disebabkan boleh latar belakang
budaya dan infrastruktur alam
pikiran masyrakat itu sendiri.
Misalnya saja, melarang habis-
habisan orang untuk korupsi, tetapi
jika dirinya kecipratan hasilnya,
korupsi seakan-akan menjadi legal
(Hal. 16).
Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat
Emha berbicara soal bencana
Tsunami yang terjadi di tahun 2004
di Aceh. Di sini ia tidak melulu
berbicara mengenai gempa secara
teknis, tetapi ia justru menelaah
peristiwa tersebut dari sisi spritual
yang reflektif dan kontemplatif.
Hal lain yang menarik dari kumpulan
tulisan ini, Emha mengingatkan
bahwa tulisannya selalu bertolak
pada tanggung jawab sebagai
anggota masyarakat dan bangsa,
bukan pada “karir” kepenulisannya.
Tidak mengherankan jika kemudian
Emha acap kali memosisikan diri
sebagai bagian dalam kehidupan
masyarakat yang tengah dikritisinya.
Malah ia menempatkan diri sebagai
“ murid” dari masyarakat atau umat.
Keegaliteran inilah yang membuat
Emha selalu dapat diterima di
berbagai lapisan dan golongan
masyarakat.
Dalam buku yang tidak diberi
pengantar, baik dari editor, penerbit
maupun penulisnya sendiri ini, esai-
esai Emha dikelompokkan menjadi
enam bagian besar yaitu Podium
Husni yang banyak mengupas
persoalan kebudayaan, Sekul dan
Uler yang menyoal ideologi negara
dan kepemimpinan, Santri Teror
yang membahas masalah santri dan
alam pikiran para santri, Generasi
Kempong yang mengajak pembaca
untuk melihat berbagai kekacauan
sikap budaya dan kemunafikan,
“ Wong Cilik” dan Dendam Rindu
Jakarta yang berbicara mengenai
kaum marjinal, dan Gunung Jangan
Pula Meletus yang mencoba
memaknai bencana yang melanda
Indonesia.
Sayangnya, tidak semua esai dalam
buku ini menyebutkan sumber
tulisannya. Akibatnya, pembaca
tidak pernah tahu konteks
sesungguhnya dari tulisan-tulisan
tersebut. Akan lebih membantu
sebenarnya jika pembaca tahu
sumber tulisan tersebut, misalnya,
apakah esai tersebut pernah dimuat
di sebuah harian, apakah esai
tersebut merupakan makalah dalam
sebuah seminar, atau memang
tulisan-tulisan yang belum sempat
diterbitkan. Sumber karangan,
waktu ketika esai itu dibuat, dan
konteks persoalan ketika esai itu
dibuat, tentunya akan membantu
pembaca memahami gagasan-
gagsan Emha dan maksud dari
tulisan-tulisannya.***
MenghadirkanRealitas Ke RuangKontemplatif
19 April 2010Diposkan Yuri Octoberry Pada Senin, April 19, 2010
Label: kumpulan resensi buku