Catatan KegelisahanSeorang Pendaki

19 Agustus 2010

Judul: Norman Edwin, Catatan
Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Harga: Rp. 65.000
Buku ini tidak lain merupakan
laporan Norman Edwin ketika
berusaha menapakkan kaki berbagai
puncak tertinggi di dunia, lembah-
lembah penuh misteri, hingga
wilayah-wilayah yang masih
menyisakan persoalan.
Namun Norman tidak hanya
menuliskan kenangan indah saat ia
berada di tempat-tempat tersebut,
tetapi ia juga melukiskan
ketegangan, saat-saat maut
mengintai, hingga masalah-masalah
kronis yang “menghinggapi”
berbagai tempat yang
disambanginya.
Di tahun 1980-an, Norman Edwin
bukan lagi "anak bawang" dalam
jagat pendaki gunung.
Pengalamannya mendakai berbagai
tempat yang jarang dikunjungi
manusia telah menempatkannya
menjadi salah satu pendaki andalan
dari Indonesia.
Kehebatannya menuliskan
pengalaman selama melakukan
pendakian maupun mengikuti
ekspedisi, telah membuat lelaki yang
dijuluki Beruang Gunung tersebut,
dipercaya untuk membuat berbagai
laporan di sejumlah media cetak di
Indonesia.
Jika tulisan-tulisan dalam buku ini
diamati, ternyata Norman tidak
hanya bercerita sesuatu yang
bersifat personal. Ia tidak berpretensi
untuk menunjukkan superioritasnya
sebagai sosok yang sanggup
menjawab keganasan alam. Namun
ia juga berusaha untuk
memperlihatkan berbagai
kecemasan dan keprihatinannya
melihat alam yang semakin rusak
oleh tangan manusia.
Pada bagian awal buku ini misalnya,
Norman sudah memperlihatkan
bahwa padang salju yang
menyelimuti Puncak Jayawjaya
semakin mengalami penyusutan.
Penyusutan jumlah dan luas selimut
es ternyata tidak hanya terjadi pada
Puncak Jayawijaya, tetapi juga
sejumlah puncak gunung es yang
berada di belahan dunia lain.
Berbagai teori dan spekulasi
dilontarkan untuk menjawab
fenomena tersebut. Namun tidak
satu pun yang dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan.
Tetapi, kini, sekitar 30 tahun
kemudian, ada jawaban yang
mungkin membuat semua pihak
puas, yakni pada saat itu proses
pemanasan global sudah dimulai.
Proses itu pulalah yang membuat
gunung es di kutub utara mulai
lumer.
Keprihatinan Norman atas rusaknya
alam, tercermin juga dalam
tulisanya mengenai Situ Aksan (situ
berarti danau dalam bahasa Sunda),
sebuah danau sisa peninggalan
Bandung purba. Hasil penelusuran
Norman memperlihatkan bahawa
Situ Kasan yan pada tahun 1940-an
masih seluas lima hektar persegi,
namun 40 tahun kemudian
menyusut hingga seluas satu hektar
saja.
Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat
ulah manusia yang membebani
danau tersebut, mulai dari
pembangunan pemukiman di
sekitar danau hingga pencemaran
yang berasal dari bangunan yang
berada di sekitar danau tersebut.
Lalu, seperti kisah sedih tentang
alam lainnya, Situ Aksan pun akan
tinggal cerita saja.
Tidak hanya soal kondisi alam,
dalam buku ini juga dimuat tulisan
Norman mengenai sejumlah situs
candi yang dirusak oleh orang yang
tidak bertanggungjawab. Dimuatnya
tulisan ini tentu saja menunjukkan
bahwa persoalan seperti ini
memang masih terjadi dan jelas-
jelas menuntut penyelesaian.
Sayangnya, upaya penyelesaian
tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah,
tidak terdapatnya keterangan pada
foto yang dimuat. Padahal, sebuah
foto justru tidak berbicara apa-apa
ketika disuguhkan tanpa caption
maupun teks. Alhasil, foto-foto
dalam buku ini tidak begitu terasa
faedahnya sebagai pelengkap isi
tulisan. Sayang sekali.
Namun begitu, diterbitkannya buku
ini patut mendapat apresiasi. Tentu
bukan sekadar untuk menunjukkan
heroisme ataupun keberhasilan
manusia “menaklukkan” alam, tetapi
juga sebagai sumber inspirasi bagi
banyak orang muda untuk lebih
peduli pada kondisi alam yang kian
memprihatinkan.
Norman Edwin memang telah tiada.
Ia kehilangan nyawanya ketika
melakukan ekspedisi menuju
puncak Aconcagua, di Argentina
pada tahun 1992. Namun berkat
tulisan-tulisannya yang dikumpulkan
dalam buku ini, pembaca masih
dapat ikut merasakan kedahsyatan
alam, sekaligus mendengarkan
senandung sedih alam yang
digerogoti oleh keserakahan
manusia.***