Pers di BawahBayang-bayangKekuasaan

19 Agustus 2010

Judul: Trilogi Insiden
Penulis : Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta
Tahun: I, April, 2010
Halaman: 452 halaman
Sastra tidak sama dengan jurnalistik.
Namun, ketika jurnalistik mengalami
keterbatasan dalam
mengungkapkan realitas, maka
sastralah yang dapat
menggantikannya. Itulah yang ingin
disampaikan lewat buku ini.
Trilogi Insiden terdiri dari tiga buah
buku, yakni Saksi Mata, Jazz Parfum
dan Insiden, serta Ketika Jurnalisme
Dibungkam, Sastra Bicara.
Semuanya pernah terbit ketika Orde
Baru masih berkuasa. Seperti
diketahui, pada masa itu, penguasa
begitu membatasi gerak pers.
Pembatasan-pembatasan inilah
yang membuat pers tidak bebas
dalam mengungkapkan fakta-fakta
yang ditemui secara terbuka.
Apalagi fakta tersebut berbenturan
dengan kepentingan kekuasaan.
Jika pers mencoba untuk tetap keras
kepala, ancamannya tidak
tanggung-tanggung, yakni
pencabutan SIUPP (Surat Ijin usaha
Penerbitan Pers) alias breidel.
Kondisi inilah yang membuat pers
tidak dapat menjalankan tugasnya
secara maksimal.
Itulah latar belakang mengapa ada
kebutuhan untuk mengungkapkan
fakta lewat sastra. Seperti yang
terlihat pada bagian pertama buku
ini, Saksi Mata. Penulis buku ini,
Seno Gumira Adjidarma, tampak
ingin memperlihatkan apa yang
terjadi di Timor Timur terutama
sekitar kekerasan yang dilakukan
militer terhadap masyarakat sipil
pada insiden Dili di penghujung
tahun 1991.
Tentu saja catatan kekerasan seperti
itu tidak pernah bisa diakses lewat
media yang beredar di Indonesia
kala itu. Sebab pemberitaan
peristiwa yang mendapat sorotan
internasional itu dapat dicap sebagai
berita yang mengganggu stabilitas
nasional.
Kecenderungan yang sama juga
tampak dari bagian kedua buku ini,
yaitu Jazz, Parfum, dan Insiden. Jika
dibaca selintas, kumpulan cerita
pendek dalam bagian ini seperti sulit
untuk diterjemahkan. Sulit sekali
mencari “pintu gerbang” yang
menghubungkan antara musik jazz,
parfum dan insiden.
Namun jika pembaca menelaahnya
secara lebih teliti, maka hubungan
itu akan lebih jelas. Jazz dalam buku
ini bukan sekadar musik. Di sini jazz
adalah simbol kegelapan, kepedihan,
dan duka yang menyayat-nyayat.
Lalu, tiupan terompet Miles Davis
bukan sekadar alunan nada, namun
juga seruan kepedihan, alunan
kisah-kisah sedih orang-orang yang
tersingkirkan. Hal yang lebih penting
lagi, Miles Davis meninggal 48 hari
sebelum insiden penembakan
terhadap orang-orang tidak
bersenjata itu terjadi (hal. 204). Kita
sudah dapat menduga, teks ini
merujuk kepada insiden Dili.
Pada bagian tiga buku ini, Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra
Harus Bicara, Seno menuliskan
sejumlah esai berkaitan dengan
dunia jurnalistik. Sebagian berisi
pengalamannya ketika menjadi
pemimpin redaksi di majalah Jakarta
Jakarta.
Dalam esai-esai tersebut ia
mengisahkan ketakutan yang
dialami pers bahkan telah memaksa
pemimpin grup majalah tempatnya
bekerja melakukan intervensi pada
kebijakan redaksi. Pemberitaan yang
dilakukan Jakarta Jakarta dianggap
berlebihan, sehingga sejumlah
orang harus “dipindahkan” ke media
lain dalam grup yang sama.
Kini, di tengah iklim pers yang lebih
bebas, penerbitan Trilogi Insiden
memang terkesan tidak lagi
kontekstual. Namun ada dua hal
yang mesti dicatat. Pertama,
penerbitan buku ini mengingatkan
bahwa ada sejarah kelam yang
dialami pers maupun masyarakat
sipil oleh kekuasaan.
Kedua, kebebasan pers pada masa
ini tetap terancam. Lemahnya
undang-undang dan kapitalisasi
media adalah ruang-ruang yang
masih dapat digunakan untuk
melemahkan keberadaan pers.***