Absurditas Pernikahandalam MasyarakatKontemporer

19 Agustus 2010

Judul : Sudesi (Sukes dengan Satu
Istri)
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Tebal : 456 halaman
Tahun : Januari 2010
Lembaga pernikahan yang sering
dianggap sakral ternyata mengalami
pereduksian makna dalam
masyarakat kontemporer.
Pernikahan yang sarat dengan nilai-
nilai kesetiaan, pengabdian dan serta
pengorbanan, kemudian ditaburi
perselingkuhan, kebohongan serta
berbagai kepalsuan.
Persoalannya kemudian, masihkah
ada orang yang dapat sanggup
mempertahankan pernikahan yang
serba suci itu manakala lingkungan
sekitarnya seolah-olah
membenarkan terjadinya berbagai
bentuk pengkhianatan. Lebih
ekstrim, apakah lembaga
perkawinan masih layak
dipertahankan sebagai wadah
penyatuan dua individu, baik secara
formal ataupun agama
Novel Sudesi (Sukses dengan Suatu
Istri) tampaknya ingin memberikan
sebuah lapangan perenungan
mengenai persoalan-persoalan
tersebut. Lewat pengalaman dan
sepak terjang tokoh-tokohnya,
Sudesi yang ditulis oleh Arswendo
Atmowiloto, memperlihatkan
kecenderungan ini.
Sebut saja tokoh Ibu Sukmono, istri
Jati Sukmono penggagas Sudesi,
yang kemudian berselingkuh
dengan seorang fotografer ternama
ketika suaminya tengah meringkuk
di dalam penjara. Perselingkuhan
yang diawali ketika Ibu Sukmono
meminta untuk dipotret dalam pose
tanpa busana itu, ternyata dapat
terjadi begitu saja tanpa diakhiri rasa
penyesalan maupun penghakiman
yang berujung kepada akibat-akibat
yang merepresentasikan “hukuman
Tuhan” terhadap mereka.
Tentu saja novel ini tidak ingin
menunjukkan bahwa
perselingkuhan merupakan sesuatu
yang pantas ditiru ataupun sesuatu
yang bersifat relatif. Novel ini juga
tidak berusaha mengonstruksi
sebuah pemikiran bahwa
perselingkuhan adalah sesuatu yang
salah dalam pandangan relijiusitas.
Sebaliknya, pembaca dibiarkan
untuk menikmati alur cerita
sebagaimana adanya, dan membuat
penilaian tersendiri atasnya.
Beberapa kisah tokoh lainnya dalam
novel ini juga menunjukkan bahwa
pernikahan telah telah menjadi
sesuatu yang absurd, misalnya saja
kisah Bambang, seorang wartawan
yang mendapat kesempatan untuk
menuliskan biografi Ismi Patria, istri
anak bungsu Tunjung Suanta,
sekaligus istri dari Indrawan,
seorang pengusaha kaya yang
sanggup memberikan apa saja.
Tidak terjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi dengan
pernikahan Ismi, yang akrab
dipanggil dengan Ibu Ais, dengan
Indrawan. Namun Indrawan
menyetujui saja ketika Ibu Ais ingin
membuat sebuah biografi dan
menunjuk Bambang, saeorang
wartawan, untuk menuliskan
biografi itu.
Maka, dengan segala fasilitas yang
mewah yang disiapkan oleh Bu Ais
sendiri, Bambang berkesempatan
masuk ke dalam kehidupan Ibu Ais.
Ia dapat mengikuti segala aktivitas
Ibu Ais, mengamati perilakunya,
melakukan wawancara, dan bahkan
jatuh cinta kepadanya.
Dari sinilah dimulai sebuah
perselingkuhan dengan perjanjian di
atas kertas antara Ibu Ais dan
Bambang. Sebelum memulai
perselingkuhan, Bambang diminta
untuk memenuhi sejumlah
persyaratan, termasuk syarat
kesehatan yang harus dibuktikan
dengan surat keterangan dari
dokter. Bagi Bambang ini adalah
sesuatu yang aneh, tidak masuk akal
dan terlalu rumit untuk sebuah
perselingkuhan. Anehnya lagi,
perselingkuhan ini dilakukan dengan
persetujuan suami Ibu Ais.
Semua kisah dalam novel ini
memperlihatkan bahwa penikahan
adalah sesuatu yang pelik, dan tidak
gampang dilakukan dalam dunia
kontemporer. Pernikahan yang
dijalani dapat saja menjadi lembaga
yang sakral, namun pengkhianatan
terhadapnya sangat terbuka lebar.
Tinggal bagaimana seorang individu
memahami secara benar hakikat
pernikahan, dan konsisten dengan
janjinya untuk selalu setia pada
psangannya.***